Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Covid-19 dan Virus Sosial Penghancur Ke-kita-an

11 April 2020   16:20 Diperbarui: 11 April 2020   16:24 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya teringat pernah tanpa sengaja menonton sebuah film di saluran TV kabel yang awalnya sangat tidak menarik buat saya, karena tidak ada pemerannya yang terkenal dan ceritanya pun "picisan", yaitu tentang sebuah lomba dance remaja internasional. Tentu saja tema film itu awalnya saya anggap sangat amatiran dan "nggak gue banget deh...." Judul film itu adalah Battle of The Year produksi tahun 2013.

Tapi kemudian ada satu momentum kecil yang menarik, dan akhirnya membuat saya menonton sampai selesai, padahal banyak film yang lebih bagus di saluran yang lain. Moment itu adalah saat pertama kali si pelatih berbicara pada anak-anak remaja jalanan yang berkumpul untuk menjadi tim dance yang nantinya akan mewakili Amerika Serikat pada sebuah ajang lomba internasional.

Pelatih yang awalnya diragukan kemampuannya dan juga agak urakan, mengatakan bahwa untuk membentuk sebuah tim yang hebat, tidak boleh ada seorangpun mengatakan "AKU" sejak terkumpul ke dalam sebuah tim. Semua orang harus menggunakan istilah "KITA", dan setiap terdengar ada anggota tim yang mengatakan "AKU", maka seluruh anggota tim harus melaksanakan push up 100 kali.

Singkat cerita, akhirnya tim yang diharapkan dapat terbentuk melalui proses yang berat dan seringkali diwarnai oleh konflik antar mereka sendiri. Mereka yang tidak bisa memegang komitmen ke "KITA" an tereliminasi, mereka yang awalnya anak jalanan yang gemar berkelahi akhirnya kompak dan saling mendukung satu sama lain. Hilangnya semangat ke-aku-an dan berganti dengan menguatnya semangat ke "KITA" an akhirnya mampu membawa tim tersebut meraih juara 2 pada lomba internasional tahun itu, dan selanjutnya menjadi juara dunia ditahun-tahun berikutnya.

Yah, memang hanya sekedar cerita film picisan khas Hollywood yang mencoba membesarkan Amerika dengan beragam 'superhero' imajinatif sebagaimana film Spiderman, Avengers, dan sejenisnya. Tetapi apapun tujuan film itu, entah komersialnya maupun ideologis dan politisnya, selalu ada nilai yang bisa kita pelajari, bila kita mau. Penghilangan egoisme atau semangat ke-aku-an dan menggantinya dengan kolektivisme atau semangat ke "KITA" an dalam mengatasi persoalan dan mencapai tujuan rasanya cukup relevan untuk kita contoh dalam menghadapi situasi saat ini.

Ego sentrisme masyarakat pasca kontestasi politik sejak tahun 2014, 2017 dan 2019 telah mengerak secara luar biasa. Setiap orang merasa memiliki kebebasan untuk menganggap dirinya paling benar, dan kemudian melihat orang lain yang ada di pihak seberang sebagai pihak yang salah. Akhirnya substansi kebenaran dan kesalahan itu menjadi kabur, karena rasionalitas telah dikalahkan oleh kemampuan pembentukan opini melalui media sosial oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Parahnya, kebencian satu pihak kepada pihak lain yang berseberangan cenderung menutupi mata hati dan akal pikiran yang sehat, sehingga apapun yang dilakukan oleh pihak lain akan langsung direspon secara negatif. 

Seringkali semua pihak juga mengaku sebagai umat beragama yang sangat taat, tetapi pada kenyataannya mengabaikan kenyataan bahwa agama apapun tidak mengajarkan kebencian kepada ummatnya.

Sebagai contoh dalam agama Islam diajarkan oleh Allah SWT bahwa, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia sangat buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [Q.S. Al-Baqarah : 216] selanjutnya Allah SWT juga memerintahkan, "... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." [Al-Maidah 8].

Hal tersebut secara tersirat mengajarkan kepada kita sebagai manusia untuk senantiasa mengedepankan akal sehat serta cara berpikir yang logis dan rasional dalam melihat dan menghadapi segala sesuatu, tanpa dipengaruhi oleh rasa kebencian atau kecintaan terhadap sesuatu secara berlebihan.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang religius (bahkan kadang-kadang religiusnya over dosis), kita perlu mengembalikan hati dan pikiran kita kepada ajaran agama yang benar untuk menyingkirkan "virus sosial" dalam menghadapi pandemi covid 19 ini agar kita segera bisa keluar dari bencana dan bangkit kembali membangun bangsa.

Jangan lagi ada kebencian dan kecintaan yang berlebihan kepada apa yang kita yakini dan kita dukung secara politis, yang pada akhirnya memperkuat ke "AKU" an dan ke "KAMU" an serta menghancurkan ke "KITA" an.  Oleh karena itu, benar apa yang dituliskan oleh Dahlan Iskan maupun beberapa aktivis kejiwaan yang disebar melalui media sosial bahwa ada baiknya untuk kita sejenak meninggalkan media sosial, atau minimal mengurangi membaca dan mendiskusikan covid 19 agar jiwa dan akal sehat kita tetap terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun