Dalam hal ini, TNI secara institusi tetap konsisten untuk melihat bahwa komunisme adalah bahaya laten yang tidak boleh hidup di negeri ini, walaupun Panglima TNI pada saat itu, ikut menyepakati dibentuknya tim kebenaran dan juga menyatakan kepada media bahwa meminta maaf adalah baik untuk menyelesaikan masalah dan lebih fokus menatap masa depan. Bagi TNI, Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dan UU RI Nomor 27 Tahun 1999 masih menjadi landasan hukum yang kuat dan harus ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Hal yang lebih menarik untuk dicermati terkait persoalan ini adalah kecenderungan yang berkembang bahwa apabila menyangkut isu pelanggaran HAM, khususnya peristiwa G-30S/PKI, mayoritas mata akan langsung tertuju pada TNI sebagai pelaku utamanya.
Mari kita sedikit kesampingkan detail peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang juga masih menjadi kontroversi akibat beragamnya penafsiran sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak yang menafsirkan. Kita coba lihat posisi TNI dalam persoalan terkait pelanggaran HAM tersebut. Kiranya hal ini perlu diluruskan agar tidak semakin mengkristalkan opini publik bahwa pelanggaran HAM selalu identik diakukan oleh TNI. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia memuat secara jelas dalam pertimbangannya bahwa bahwa “Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara”. Kemudian pasal 5 mengatakan bahwa “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.” Dari amanat Undang-Undang ini terlihat jelas bahwa TNI adalah alat negara. Sebuah alat tidak akan bergerak atau bekerja dengan sendirinya tanpa digerakkan atau digunakan oleh yang memiliki alat.
Negara demokratis menganup prinsip supremasi sipil, yaitu bahwa pengerahan kekuatan militer menjadi kewenangan dan tanggung jawab Presiden yang harus disetujui oleh rakyat melalui pewakilannya. Dalam kontek ini pun, UU RI NOmor 34 tahun 2004 tentang TNI juga menegaskannya dalam pasal 5. Sebagai alat negara di sebuah negara demokratis, pengerahan kekuatan TNI juga menjadi wewenang dan tanggung jawab Presiden RI atas persetujuan DPR RI. TNI tidak boleh dan tidak akan bergerak dengan sendirinya untuk mengemban tugas-tugas politis menegakkan kedaulatan negara sebagaimana amanat Undang-Undang. Semua adalah didasarkan atas keputusan politik negara.
Salah satu pakar strategi barat yang paling berpengaruh, Carl Von Clausewitz, pun mengatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari proses politik dengan cara yang lain. Perang tidak dilakukan oleh tentara, tetapi oleh negara. Tentara hanyalah instrumen untuk melaksanakannya dengan menggunakan senjata.
Peristiwa-peristiwa G-30S/PKI, Konflik di Aceh, Papua hingga peristiwa Semanggi dan lain-lain adalah persoalan politik. Sesuai dengan amanat Undang-Undang, pelaksanaan tugas TNI dalam menegakkan NKRI adalah dalam rangka melaksanakan keputusan politik negara, sehingga tidak seharusnya TNI sebagai institusi dilihat sebagai pihak yang paling bersalah atas hal-hal yang terkait dengan persoalan politik. Politiklah yang salah, dan kesalahan-kesalahan politik itupun tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan sebagai akibat dari ambisi-ambisi politik mereka yang menginginkan atau tidak menginginkan kekuasaan. PKI sebagai partai politik jelas memiliki ambisi politik yang kemudian dilakukan dengan cara-cara kekerasan sehingga menimbulkan respons politik yang keras juga. Demikian juga dengan persoalan di Aceh maupun Papua, semuanya adalah persoalan politis. Tentara hanyalah instrument yang digunakan oleh pemerintah yang sah.
Hal ini seharusnya dipahami oleh publik sehingga tidak ada kecenderungan untuk selalu menyalahkan TNI sebagai institusi bila terjadi kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan tugas. Apabila terdapat kesalahan-kesalahan individu akibat dari tidak ditaatinya aturan yang berlaku, maka disana sudah terdapat perangkat hukum yang akan menanganinya. Disisi yang lain, pihak TNI juga harus menyadari bahwa tidak perlu terlalu reaktif bila ada wacana-wacana terkait penyelesaian persoalan HAM masa lalu. Kembalikan penyelesaian persoalan itu kepada pemerintah yang memiliki otoritas politik. Sikap reaktif justru akan merugikan TNI sendiri karena akan memunculkan persepsi publik bahwa ‘negara ini adalah milik TNI’ atau TNI lah yang paling berkepentingan terhadap negara ini, mengingkari semangat reformasi yang mendudukkan TNI dalam kesetaraan posisi dengan komponen bangsa yang lain.
Hal kedua yang perlu dicermati adalah penggunaan istilah ‘korban peristiwa 1965’ yang seolah-olah hanya merujuk kepada anggota PKI dan simpatisannya yang terbunuh pada peristiwa tersebut. Para penggiat HAM yang memperjuangkan penyelesaian peristiwa itu terkesan mengabaikan bahwa 50 tahun yang lalu ada ribuan santri, ulama, tokoh masyarakat maupun rakyat lainnya yang juga menjadi korban dari aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI. Bahkan, bisa dikatakan bahwa para santri dan ulama ini lah yang lebih duluan menjadi korban, dan kemudian memicu aksi balasan pasca gagalnya kudeta PKI tanggal 30 September 1965. Namun opini dan persepsi publik cenderung digiring pada pemahaman bahwa ‘korban peristiwa 1965’ adalah anggota PKI dan simpatisannya. Publik seolah-olah dibuat lupa bahwa PKI pada saat itu adalah ‘partai penguasa’ dan salah satu partai politik terbesar di negara ini. PKI bukanlah partai politik kecil yang anggotanya adalah minoritas.
Hal ini mengindikasikan tidak berimbangnya opini dan persepsi yang berkembang di tengah publik dan menggiring pada pemahaman yang membias. Dengan demikian, diperlukan peran para santri dan ulama untuk lebih menyuarakan sudut pandangnya terkait peristiwa 1965 agar lebih berimbang, dan masyakarat tidak tergiring pemahamannya ke arah yang salah.
Kembali pada posisi TNI menyikapi wacana permintaan maaf pemerintah tersebut, TNI sebagai alat negara sebaiknya tidak terpancing untuk terlalu reaktif, yang justru akan menjadi kontraproduktif bagi institusi bila tidak tersalurkan dengan benar. Serahkan persoalan itu kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat, kembangkan saja pikiran positif bahwa pemerintah maupun wakil-wakil rakyat masih tetap memegang komitmen pada konstitusi untuk tetap menjaga tegak kokohnya NKRI serta ideologi Pancasila.
Yang harus dibela oleh TNI adalah kepentingan rakyat Indonesia, rakyat yang tidak hanya sekedar ribuan orang ‘korban peristiwa 1965’ sebagaimana yang diperjuangkan oleh para penggiat HAM, tetapi juga lebih dari 100 juta warga NU dan Muhammadiyah yang para santri dan kyai nya dulu menjadi korban keganasan PKI, maupun rakyat-rakyat lainnya yang juga tidak menghendaki berkembangnya paham komunisme.