Momentum peringatan HUT ke-70 Tentara Nasional Indonesia tahun 2015 ini diwarnai oleh nuansa keprihatinan atas trend kebangkitan komunisme yang selama ini menjadi musuh nomor satu bagi Pancasila. Betapa tidak, menjelang peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI kemaren, masyarakat sempat dihebohkan oleh wacana tentang rencana permintaan maaf pemerintah RI melalui Presiden RI kepada keluarga ‘korban peristiwa G-30S/PKI’ pada acara Pidato Kenegaraan Presiden RI. Wacana yang ramai diulas oleh pemberitaan media tersebut kemudian memicu polemik ditengah-tengah masyarakat, walaupun pada kenyataannya hal tersebut memang tidak dilakukan, dan bahkan tidak disinggung oleh Presiden RI dalam Pidato Kenegaraan nya. Kemunculan berbagai gambar dan logo terkait komunis di berbagai media sosial maupun yang ditemukan langsung di beberapa daerah seperti di Jember, Pamekasan maupun Jakarta semakin meramaikan situasi. Seolah api dalam sekam yang telah tertutup dalam waktu yang lama, saat ini bara nya sudah semakin kelihatan di permukaan dan sewaktu-waktu dapat menjadi nyala api yang besar akibat tiupan angin yang kecil sekalipun, bila tidak segera disiram dengan air untuk memadamkannya.
Hal itu tentu saja tidak bisa dilepaskan dari rangkaian dinamika sosial yang terjadi sebelumnya, mulai dari wacana penghapusan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI yang dilontarkan oleh Presiden RI ke-4 dan didukung penuh oleh salah satu partai politik besar di negeri ini yang akhirnya ditolak oleh MPR, hingga tidak diberlakukannya lagi sampul D dan masuknya kader dan simpatisan PKI ke lembaga legislatif maupun eksekutif. Atmosfir politik yang tercipta pasca terlontarnya wacana pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 tersebut seakan-akan membuka celah bagi keluarga, kader maupun simpatisan PKI yang masih tersisa untuk semakin berani menunjukkan eksistensinya. Keberhasilan mereka atau kegagalan kita untuk membendung masuknya kader-kader dan simpatisan PKI ke berbagai lembaga legisatif dan eksekutif semakin memberikan angin segar kepada mereka untuk bangkit kembali. Sebagian dari mereka bahkan telah secara terang-terangan menulis buku yang provokatif, sebagian lain memproduksi film yang semua itu merupakan wujud upaya pemutar balikan sejarah. Sebagian yang lain lagi secara konsisten meminta kepada pemerintah untuk meminta maaf atas peristiwa G-30S/PKI yang menyiratkan anggapan bahwa pemerintah Indonesia lah yang salah dan mereka yang menjadi korban atas peristiwa tersebut. Isu-isu perburuhan dan HAM dimanfaatkan untuk menjadi kendaraan atas gerakan mereka dalam mencapai tujuannya.
Ya…..mereka ibarat Kurawa yang telah kalah dalam perang Bharatayudha dan kemudian menggugat Pandawa yang keluar sebagai pemenang.
Di penghujung perang Bharatayudha, hampir 100% bangsa Kurawa musnah, dikalahkan oleh para Pandawa, hanya tinggal menyisakan Duryudana yang melarikan diri, tinggal glanggang colong playu, bersembunyi di dalam danau di tengah hutan belantara, hingga para ahli dari tim SAR gabungan berbagai negara pun gagal menemukannya, seperti hilangnya pesawat Malaysia MH-370. Namun ternyata hal itu justru membawa implikasi politis yang sangat panjang. Dengan menghilangnya Duryudana sebelum perang usai, secara politis Pandawa tidak bisa mengklaim bahwa mereka telah memenangkan perang Bharatayudha, karena aturan perundang-undangan internasional yang dirumuskan oleh dhalang mengatakan demikian. Sikap Duryudono tersebut, membuat tdk ada kepastian politik di Hastina.Â
Para wayang yang hanya menjalankan lakon yang dimainkan oleh dhalang merasa was was menyikapi perilaku Duryudana tersebut. Kresna yang ditunjuk oleh dhalang sebagai botoh nya Bharatayudha lah yang tahu taktik, strategi dan politik yang sedang dimainkan oleh Duryudana. Akhirnya Tim SAR gabungan yang sudah kehabisan energy untuk mencari keberadaannya ditarik mundur. Kresna dan Pandawa gentian mengejar ke dalam hutan dan akhirnya menunggu Duryudana yang sedang ngumpet di dasar danau. Walaupun telah diminta untuk keluar dari danau secara sukarela dan menyelesaikan perang, namun Duryudana tetap tidak mau.Â
Akhirnya Kresna minta tolong kakanya, Baladewa, yang juga merupakan guru dari Duryudana dan Bima untuk membujuk agar Duryudana mau keluar dari dasar danau. Duryudana akhirnya mau muncul dan melanjutkan perang, asal aturan perang diatur ulang lagi, dijelaskan dalam technical meeting dan ditandatangani kedua belah pihak. Duryudana mengajukan syarat hanya mau perang melawan Bima yang merupakan saudara seperguruan, dengan harapan mampu mengalahkannya. Atau mungkin Duryudana memliki kebencian yang sangat dalam kepada Bima yang terlekanl paling tegas pendiriannya dalam membela tanah air, sehingga jika Bima dapat dikalahkan, maka akan hancur pulalah negara Pandawa secara keseluruhan.Â
Demi mendapatkan kepastian hukum dan politik, walaupun pada awalnya pihak Pandawa keberatan, namun akhirnya perang tanding dilaksanakan satu lawan satu, siapa yang menang, maka pihaknya lah yang akan memenangkan perang secara keseluruhan. Seandainya Duryudana yang menang, maka pihak Kurawa lah yang menang. Dia lupa bahwa kalah menangnya wayang telah diatur oleh dhalang. Akhirnya perang tanding itu dimenangkan oleh Bima yang menghajar habis-habisan si Duryudana hingga hancur lebur.
Baladewa yang saat itu juga merupakan seorang aktivis HAW (Hak Azasi Wayang) sempat memprotes cara yang digunakan Bima dalam menghajar dan mengalahkan Duryudana. Namun, karena wayang yang lain dan juga penonton menganggap bahwa Duryudana yang merupakan pimpinan Kurawa dengan segala kekejaman dan kelicikannya memang patut mendapatkan ganjaran seperti itu, maka Baladewa tidak bisa berbuat apa-apa.
Begituah kira-kira……
PKI yang pada masa puncak kekuasaannya sebagai partai politik besar merusak tatanan dengan berbagai kekejian dan kekerasan serta upaya merebut kekuasaan, akhirnya dapat dihancur leburkan oleh rakyat. Duryudana telah dihabisi oleh Bima 50 tahun yang lalu. Namun, mungkin ketika masih bersembunyi di dasar danau, mungkin Duryudana masih sempat berselingkuh dengan makhluk-makhuk bawah air dan meninggalkan keturunan. Dinamika sosial politik yang berkembang telah membawa keturunan Duryudana dari dasar danau untuk muncul di permukaan disaat para Pandawa sedang terbius euforia kekuasaan sehingga terlena. Keturunan Duryudana yang pada saat perang Bharatayudha tidak memahami apa yang terjadi di permukaan, kemudian menggugat, seolah-olah Pandawa lah pihak yang keji dan salah. Mereka mencoba membutakan diri dan mengaburkan pandangan orang lain tentang sepak terjang Kurawa yang sebenarnya.
Sekilas, mereka terlihat telah berhasil membuka jalan untuk meloloskan gugatannya. Dalam kaitan dengan upaya pemutar balikan fakta sejarah kekejaman PKI, para petinggi institusi yang berkepentingan dengan persoalan tersebut (TNI, Polri, Kejagung, Kemenkopolhukam dan Komnas HAM) sudah menyepakati untuk membentuk sebuah tim kebenaran yang akan menyelesaikan persoalan-persoalan masa lalu melaui rekonsiliasi. Justru penolakan bermunculan dari pihak-pihak yang sebenarnya mejadi korban dalam peristiwa G-30S/PKI, yaitu para kyai dan santri. NU dan Muhammadiyah yang dulu berhadapan langsung dengan PKI, melalui para tokohnya menyatakan penolakan atas wacana tersebut karena dapat menyakiti para sesepuhnya, para kyai dan santri yang dulu jadi korban keganasan anggota PKI. Disisi yang lain, mereka yang mengklaim diri sebagai penggiat HAM dan ‘keluarga’ anggota PKI yang dalam hal ini juga memposisikan dirinya sebagai korban menyatakan penolakan dengan argumen bahwa permohonan maaf harus didahului dengan pernyataan/pengakuan bersalah dari pelaku. Mereka juga meminta agar proses hukum tetap dilanjutkan.