Daku duduk sejenak di bangku panjang yang ada di ruang tunggu menatap kereta KRL yang terparkir, membayangkan bagaimana kehidupan di sini ratusan tahun silam.Â
Pasti ramai, dengan orang-orang yang hilir mudik, seiring deru kereta yang mengangkut barang dan manusia, bahkan mungkin juga ayam, bebek, kambing, dan bisa saja anak harimau.Â
Aroma nya tentu tidak sama dengan hari ini, saat ku duduk menatap besi-besi penahan beban atap, dan pria - pria ber vest kuning bertuliskan security.
Mengambil langkah ke luar Stasium, Daku melangkahkan kaki menyusuri koridor jalan menuju kawasan Kota Tua yang terletak tak jauh dari stasiun.Â
Di sana, tertampak bangunan-bangunan bersejarah dengan anggun berdiri tegak, seolah bersedia menjadi saksi bisu perkembangan Jakarta.Â
Disamping Museum Fatahillah itu titik kumpul kami para time traveler yang berjumlah sekitar tiga puluhan manusia. Tiga orang bervest hijau (Gilang, Haedar dan Laura) dari UPK Kota Tua, dan sepasang mahasiswa Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto (Rahmania dan Fabiano) berwajah gen Z Â menyapa kami.
Lalu, segerombolan busana bernuansa putih berjejer berjalan berantakan, kembali lagi membawa daku ke Stasiun Jakarta Kota, melewati kerumunan dagangan pinggir jalan.
Lembar-lembar sejarah dibuka kembali oleh  Gilang, ia mengungkapkan penyebutan kata Plaza BEOS untuk Stasiun Jakarta Kota kurang tepat, sebetulnya penyebutannya BOS (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij atau Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur) saja. Gilang memperkirakan pada masa itu, warga lokal lebih enak / nyaman menyebutkan kata BEOS.
Stasiun Jakarta Kota mulanya dibangun sekitar 1870, kemudian tahun 1914 dibangun kembali dengan struktur / bangunan lebih besar. Itu tertanda dalam prasasti yang tertempel di dinding dekat area pemberangkatan kereta.
Bila dilihat dari atas, struktur Stasiun Jakarta Kota seperti huruf kapital T. Secara arsitektur Stasiun Jakarta Kota masih tetap terjaga kecuali lantainya.