Ia hidup sangat irit karena bercita-cita ingin memiliki rumah sendiri, untuk itu dia menabung. Dibandingkan dengan beberapa temannya yang memilih membeli hunian berupa apartemen berukuran kecil, ia ingin memiliki hunian yang berpijak pada tanah dan memiliki beberapa kamar dan yang terpenting ada dapur.
Ia amat bertolak belakang dengan teman-temannya yang sangat boros, yang hanya sekali ngopi butuh pengeluaran Rp.75.000 sekali minum, makan di cafe, sedangkan ia membawa bekal dari rumah.
Apiknya cerita film ini, membawa generasi sebelum generasi sandwich bagaimana kesederhanaan itu hadir dalam sebuah film masa kini.
Sederet masalah datang bertubi-tubi menimpa Kaluna. Penyelesaian masalah yang ia hadapi sebagai anak bontot dari generasi sandwich mengutamakan ego. Bahkan dia begitu mudah memutuskan pacarnya, padahal bukan hal yang begitu prinsip.
Kaluna dikeluarganya  dianggap memiliki beban paling ringan. Ada pernyataan kakak iparnya memanah perasaannya "Lo bakal ngerti kalau udah punya anak".Â
Di hari yang berbeda, Kanendra si kakak laki-laki sulung pun dengan enaknya menyuruh Kaluna untuk mengisi token listrik yang habis. Kakak yang diharapkan membantu pekerjaan rumah, yang alih-alih mendukung malah menjadi tambahan beban keluarga.Â
Bahkan Ibunya memindahkan kamarnya ke kamar pembantu dibelakang. Keadaan kamar belakang begitu sempit, pintu yang tidak bisa ditutup secara sempurna harus diganjal batu dan ketidaknyamanan lainnya.
Situasi yang terjadi membuatnya memiliki hasrat memiliki rumah sendiri dan mendorong keinginan untuk bebas dari keluarga. Ia pun mengajak teman-teman satu generasi untuk membantu mencari hunian untuk nya.
Ada yang menarik dari film ini, bagaimana menciptakan situasi yang 'serba tak nyaman' untuk si pemeran utama yang generasi sandwich.Â
Sederet masalah yang datang hilir mudik pun dituntaskan dengan keputusan yang serba terbatas, kesederhanaan hidup dan emosi generasi sandwich; ia harus memilih keputusan yang diambil, sekaligus menentukan nasib Kaluna kedepan dan yang akan dia lewatiÂ