Keterlibatan para perempuan dalam sektor energi hanya 32 persen dibandingkan dengan para pria. Stereotip bahwa sektor energi adalah pekerjaan pria masih dirasakan, dan kita tidak bisa menutup mata masih terjadi ketidaksetaraan itu.Â
Hal tersebut dibunyikan dalam temuan The International Renewable Energy Agency (IRENA) di tahun 2019 yang menampilkan bahwa pekerjaan sektor energi masih didominasi pria sekitar 68 persen. Proporsinya masih jomplang antara pria dan perempuan.
Bahkan, dari32 persen komposisi perempuan lebih banyak ditempatkan pada bagian sekretaris, administratif, dan tidak banyak ditemukan berada pada posisi strategis di sektor energi.Â
Kultur dan norma sosial yang hidup di masyarakat masih menganggap perempuan sebagai konsumen dan sebaiknya berfokus mengurus rumah tangga, membuat kondisi perempuan secara aturan tak tertulis dianggap tidak setara dengan pria.
Dalam sebuah acara "Nasib Perempuan Dalam Bingkai Transisi Energi" pada Kamis [7/3/2024], Mike Verawati, Koordinator Pekerja Reformasi Kebijakan Publik cum Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia menyampaikan energi bukan dianggap sebagai pengetahuan, sehingga para perempuan diartikan tidak begitu paham atau tidak dapat menyumbang pemikiran dalam tata kelola energi.
Namun, Pemerintah RI telah mencoba mengupayakan isu kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
"It's not just about ending the era of fossil fuels, it's about doing so in a fair way"
- OXFAM -
Regulasi yang telah diterbitkan Pemerintah sejalan dengan Oxfam perjuangkan mengenai keadilan gender. Oxfam telah melakukan sesuatu dengan memastikan bahwa perempuan memiliki akses ke sumber daya, dan juga layanan yang diperlukan bagi para perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan, dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.Â
Apa yang diharapkan oleh Pemerintah RI dan Oxfam salah-satunya terwujud di salah-satu perusahaan energi plat merah di Indonesia yaitu Pertamina.Â
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjadi angin segar posisi perempuan di posisi elit sebuah perusahaan besar di bidang energi. Pertamina di bawah kepemimpinan Nicke telah berkomitmen dalam pengembangan Energi Baru & Terbarukan (EBT). Tapi apakah Ada nama perempuan lainnya selain Nicke ?
Dari sekian nama perempuan ada sosok Fanda Soesilo. Beliau selaku Chief Executive Officer SUNterra, sebuah perusahaan panel surya yang tergabung dalam SUN Group. Posisinya sebagai CEO membuat Fanda menjadi perempuan pertama di Indonesia yang memimpin di industri EBT.
Perempuan pendobrak dominasi pria ini ternyata bukan berasal dari keluarga mampu, dan perjalanan hidupnya bisa menjadi inspirasi para perempuan. Dari hasil wawancara PARAPUAN (9/6/2022), Fanda amat gigih untuk mencapai mimpinya.
Demi menggapai pendidikan ke perguruan tinggi, dirinya berusaha rajin belajar agar mendapatkan beasiswa di setiap jenjang pendidikannya. Ia ingin meraih pendidikan tinggi karena ingin mengubah nasibnya untuk menjadi lebih baik.
Setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas, Fanda kembali berusaha meraih beasiswa untuk mengejar pendidikan S1. Ia kemudian mengikuti program beasiswa B.J. Habibie dan diterima di salah satu perguruan tinggi luar negeri di Australia.Â
Tetapi, Fanda lebih memilih untuk berkuliah di Amerika Serikat di Universitas of California, Berkeley, Amerika Serikat yang dijuluki UC Berkeley. Ia pun melanjutkan studinya di jurusan Mechanical Engineering and Material Science Engineering.
Fanda pun dapat menyelesaikan studi double majornya selama 5 tahun. Setelahnya, ia masuk ke dunia kerja pada tahun 1995. Pertama kali Fanda bekerja di Lam Research yang bergerak di industri semi konduktor di Silicon Valley, Fremount, California.
Setelah berkarir 10 tahun berkarier, Fanda pun kembali ke Tanah Air pada tahun 2005, dengan berkarir di salah satu perusahaan teknologi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk sebagai Direktur Komersial & Operasi.Â
Tiga tahun setelahnya (2008), Fanda menjadi bagian dari SMART Telecom selama 1 tahun menjabat sebagai Director Corporate & Data Solutions.Â
Setahun setelahnya, di tahun 2009, Fanda juga pernah menjadi CEO dari perusahaan Maetrika, lalu ia bergabung bersama The MAJ Group di tahun 2013 hingga 2020.
Rekam jejak di bidang industri membawa Fanda tertarik pada pengembangan EBT di Indonesia. Karena dirinya yakin pada EBT sebagai energi di masa depan.
Fanda berupaya melahirkan inovasi melalui penggabungan aspek teknologi pada tiap layanan yang ditawarkan kepada para pelanggan.
Pada tahun 2021, ia pun menjadi CEO dari SUNterra, perusahaan pengembang energi surya yang berfokus pada layanan sektor residensial dan komersial.
Dalam wawancara dengan PARAPUAN, ia menyadari bahwa kehadiran energi surya sebagai salah-satu EBT tidak hanya menjadi harapan energi di masa depan kelak, melainkan juga harus mampu menawarkan solusi terhadap penggunaan energi di masa yang akan datang.
Menurutnya EBT ini akan menjadi game changer untuk kehidupan dan melihat potensi kedepan yang begitu bagus. Apa yang membuat Fanda optimis transisi energi adil di Indonesia ini akan berhasil karena adanya musim panas sepanjang tahun.Â
Bila melihat negara Eropa dan Amerika Serikat yang musim panas hanya 3-4 bulan, tentu Indonesia bisa menjadi juaranya di sumber EBT energi surya.
Fanda pun menyadari, tentunya bukan hal yang mudah bisa terus bertahan di industri yang didominasi pria. Tetapi ia terus berusaha untuk tetap kuat dan membuktikan diri hingga menjadi seperti sekarang, dimana ia sebagai pemimpin dengan gender perempuan.Â
Dirinya menjadi contoh nyata partisipasi perempuan menuju Net Zero Emmision (NZE) 2060 dan sosok inspiratif transisi energi adil yang diharapkan Pemerintah.
Apa yang dicapai Fanda bisa menjadi inspirasi bagi para pelajar perempuan yang berasal dari keluarga menengah kebawah. Sesuai dengan harapan Oxfam bagi para perempuan di Indonesia maupun di dunia untuk menggapai transisi energi adil.
Konfederasi internasional ini (Oxfam) terdiri dari dua puluh organisasi yang bekerja bersama di lebih dari sembilan puluh negara, sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.Â
__
Salam hangat
Bro Agan aka Andri Mastiyanto
Threads @andrie_gan I Tiktok @andriegan I Twitter @andriegan I Instagram @andrie_gan I Blog - kompasiana.com/rakyatjelata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H