Bulan Ramadhan ini (30/3/2024) Daku (saya) berkesempatan menempatkan diri di Museum Penerangan untuk Bedah Film Istiqlal bersama Razny Mahardhika (sutradara film) dengan moderator Dewi Puspa (Leader KOMIK Kompasiana). Sebuah film pendek berdurasi 15 menit.
Film ini memenangkan pitching film pendek yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta, meraih penghargaan Best Story di Panasonic Young Filmmaker 2019, Official Selection International Children's Film Festival Bangladesh 2020, Top 10 Finalist Viddsee Juree Awards Indonesia 2020, dan Official Selection Jogja Asia-Netpac Film Festival 2020.
Karya visual ini diproduksi Kinovia bekerjasama dengan Bineka Sinema mengisahkan road trip Ayah (Babeh) dan Anak (Sobari) menggunakan kendaraan bermotor Astrea Grand pantat monyet. Mereka berusaha mencapai Masjid Istiqlal untuk berbuka puasa Ramadhan di sana.
Pemeran utama, Babeh, memiliki kelakuan digambarkan kalau generasi sekarang menyebutnya sotoy (sok tau). Sikapnya itu menyebabkan keduanya tersesat di perjalanan untuk mencapai Masjid Istiqlal.Â
Kala tersesat di perjalanan, terlihat hubungan emosional yang romantis antara Ayah dan Anak, dimana akhirnya saling terbuka satu sama lain. Cara minta maaf tersirat dari sang Ayah, membuat anaknya memahami dan tidak menyalahkan.
Mereka dua generasi yang berbeda jaman. Babeh merupakan pria berumur sekitar 35-an tahun keturunan Betawi yang tergeser ke pinggir Jakarta dan anaknya (Sobari) berumur sekitar 10-an tahun yang sudah amat memahami penggunaan teknologi google maps.
Gap keduanya membuat film ini menarik, dengan latar Kota Jakarta yang menyimpan cerita tentang perjalanan dua orang manusia secara personal pada setiap ruas jalan yang dilalui. Jarak yang ditempuh dari Tangerang Selatan hingga menelusuri pusat Ibu Kota.
Penonton film pendek ini akan dibawa ke momori hubungan mereka dengan Ayahnya dalam sebuah perjalanan. Tentu akan ada momen-momen seperti dalam film pendek dengan berbeda latar dan kejadian.
Razny dalam bedah film menjelaskan bahwa tema yang diangkat sesuai dengan pitching film pendek yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta yakni toleransi. Itu kenapa judul yang diambil Istiqlal
Masjid terbesar di Asia Tenggara ini berhadapan langsung dengan Gereja Katedral, kedua tempat ibadah ini selalu bersamaan. Itu yang menjadi poin utama toleransi.Â
Dalam salah satu scene dimasukkkan dua pemuda dari gereja yang membagikan takjil di Taman Suropati depan Katholik GPIB Paulus Jakarta, dan menjadi alasan kenapa mereka tidak sampai Istiqlal.Â
Tidak hanya mengangkat unsur hubungan Ayah dan Anak, film ini juga mengangkat tema toleransi yang hadir secara tipis tapi ternyata terjadi di kehidupan sehari-hari di Jakarta saat ramadhan. Untuk itu penting menghadirkan kedua pemuda yang membagikan takjil itu.Â
Secara tipis dan tetap logis, film ini memberi pesan bagi-bagi takjil bukan hak milik dari orang Islam, tapi ini adalah budaya Indonesia.
Taman Suropati diambil sebagai lokasi mereka buka bersama, karena lokasi tersebut merupakan titik 0 (nol) Jakarta. Taman di daerah Menteng, Jakarta Pusat ini menggambarkan bagaimana Jakarta dengan hiruk pikuknya, menjadi oase tempat dimana penduduk Jakarta bisa bernapas.
Lokasi yang rimbun ini menjadi tempat mereka buka puasa, mereka coba saling mengerti, saling terbuka, bernafas, dan menjadi tempat toleransi.Â
Pemilihan orang Betawi dalam tokoh Babeh karena merupakan karakter yang Razny kenal, karena dirinya lahir di Jakarta dan hidup dilingkungan Betawi di Tangerang Selatan.Â
Film pendek ini kaitannya dengan Jakarta, dan tokoh ini (Babeh) dulu orang Jakarta kemudian pindah keluar Jakarta karena suatu kondisi.Â
Sehingga ketika tokoh ini diceritakan kembali ke Jakarta, ia merasa kenal dan tau banget, tapi ternyata Jakarta sudah berubah. Nah itu yang bikin ada konflik batin "ini gue tau jalannya".
Terdapat tukang ojek dalam salah-satu scene. Ini berhubungan untuk menggambarkan konteks, karena ini sebuah perjalanan, maka harus ada scene yang menvisualisasikan keduanya berinteraksi dengan orang lain, siapa yang kira-kira dia tanya yang tau dengan jalanan ? tentu tukang ojek.
Karena temanya toleransi, terdapat scene disebuah pangkalan yang terdapat ojek pangkalan dan ojek online. Pada saat film ini dibuat (2018) tensinya masih panas, keduanya bisa duduk bareng di satu pangkalan yang sama.
Dalam scene juga ada pembahasan tentang Google maps. Razny menjelaskan itu sebenarnya menjadi paradoks kharakter sang anak yang lebih modern dan itu bisa jadi solusinya.
Tapi bukan itu solusinya dalam film ini, itu kenapa smartphone nya harus mati ditengah perjalanan. Solusinya memang harus keterbukaan, komunikasi harus terjadi antar manusia bukan teknologi.
Wardrobe yang digunakan secara konsep datang dari Razny, ia telah kebayang kharakternya seperti apa ? karena hubungan dengan Jakarta maka wardrobe berwarna orange.Â
Tapi wardrobe ini tidak sekedar warna aja tapi ada maknanya sesuai kharakter, sang Ayah yang keras kepala digunakan pakaian warna hitam, sedangkan Sobari sang anak menggunakan warna ceria orange. Botol minum juga orange, dimana Jakarta hadir, bukan sebagai apa yang mereka lewati tapi juga ada di diri mereka.
Dialog dalam film Istiqlal ini 70 persen sesuai script dan 30 persen improvisasi. Sebenarnya tujuannya ada ruang improvisasi agar tetap terjalin diskusi.
Apalagi pemeran tokoh Babeh ini juga keturunan Betawi asli, tim produksi menyesuaikan gimana cara berbicaranya mengalir sesuai karakter sang pemeran.
Pemeran tokoh utama banyak kasih masukan yang di exercise oleh penulis dan sutradara. Beberapa improvisasi di ambil dan tidak di retake karena sesuai dengan script.
Pilihan musik marawis berangkat dari penulis yang berasal dari sekolah Islam, dan sesuai dengan latar di bulan Ramadhan. Menuju akhir (adegan terakhir) butuh musik yang intimite dengan mengusung musik-musik film-film Jepang bertema keluarga.
Film pendek ini menggunakan kamera mirorless Sony A7 mark II 2018 dengan setting cinema dan penggunaan lensa tambahan agar lebih detail dalam megapixel. Editing hasil visual menggunakan Adobe Premiere.
Razny mengakui kenapa belum menggunakan kamera pro karena terbatas bujet sebesar Rp.75 juta. Pembiayaan film pendek ini dari pendanaan pemenang pitching film pendek yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta (cikal bakal Jakarta Film Week) yang awalnya sebesar Rp.50 juta kemudian bertambah.Â
Pengeluaran biaya ini digunakan untuk berbagai hal dalam memproduksi Film Istiqlal ini baik dari sewa sarana dan prasarana, perizinan, wardrobe, dan lainnya.Â
**
Film Istiqlal secara tersirat bila kita telisik memberi pesan, yakni toleransi, keterbukaan dan hubungan yang dibina antara orang tua dan anak. Momen-momen perjalanan akan menjadi memori terindah dan menjadi pembelajaran.
Bedah Film yang diselenggarakan oleh Museum Penerangan amat memberi wawasan bagi insan perfilman dan juga para pecinta film serta reviewer film. Ada baiknya penyelenggaraan bedah film dapat terus dilanjutkan dan KOMIK Kompasiana dilibatkan.
"Kisah perjalanan ayah dan anak menggapai berbuka puasa akan menjadi momen terindah yang akan selalu diingat "
Rate : 8/10
*
Salam hangat, Blogger Udik dari Cikeas,
Bro Agan aka Andri Mastiyanto
Threads @andrie_gan I Tiktok @andriegan I Twitter @andriegan I Instagram @andrie_gan I Blog - kompasiana.com/rakyatjelata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H