Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 104 x Prestasi Digital Competition (69 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Stunting, Kental Manis dan Gizi Buruk, Apa Hubungannya?

16 Desember 2023   19:01 Diperbarui: 17 Desember 2023   10:25 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stunting, Kental Manis dan Gizi Buruk I Sumber Foto : dokpri

Dokter anak di salah-satu RS Swasta ini mengatakan salah satu kunci mencegah stunting berupa pemberian makanan untuk anak dengan protein yang berkualitas, lebih baik mengomsumsi protein hewani seperti telur, ikan, susu dan sumber protein yang bisa kita dapat disekeliling kita..

Arif Hidayat S (Ketua Harian YAICI), menjelaskan bahwa beberapa persoalan kesehatan yang ada di Indonesia itu membuka kotak pandora yang sekarang menjadi tanggung jawab bersama dan menjadi program Pemerintah yakni masalah stunting. 

Diharapkan tahun 2045 nanti kita (Indonesia sebagai bangsa) bisa melahirkan generasi emas, selain stunting ada obesitas  yang juga masalah yang juga penting.

Berdasarkan pantauan YAICI di Kendari dan Batam diatas 80 persen masyarakat mengenal Kental Manis adalah susu. Bahkan ada yang menganjurkan mengomsumsi kental manis 3 kali sehari, karena masih ada pemberitaan kental manis adalah susu, padahal kental manis bukan susu.

Di Kendari persepsi orang tua terhadap kental manis itu adalah susu cukup tinggi sekitar 97 %, pada saat 2018 itu belum ada ketentuan dari BPOM.

Ada beberapa wilayah di Semarang tingkat stunting hampir sama dengan pancapaian nasonal 21,6 %, yang kami temukan ternyata anak-anak yang menderita stunting bukan berasal dari keluarga tidak mampu.

Penelitian di Semarang itu sekitar 20 % kontribusi stunting berasal dari keluarga tidak mampu, faktor lainnya menjadi penyebab. Hasil penelitian beberapa tempat juga begitu.

Temuan YAICI dan mitra dilapangan menemukan literasi kesehatan Ibu dan Anak terkait gizi sangatlah rendah. Banyak pangan muatan lokal yang bisa menjadi pendamping ASI, tetapi tidak semua orang tua tau.

Di wilayah Gorontola, ada tanaman daun kelor yang merupakan salah-satu sayur untuk dapat mencegah stunting. Tapi ternyata disana daun kelor hanya digunakan sebagai pakan kambing, jadi kambingnya yang sehat. Ternyata masyarakat di sana tidak tau bahwa kelor merupakan sumber gizi yang baik.

Pada tingkat lokal, ikan dan telor tidak tersosialisasi ke masyarakat, karena literasi yang rendah akhirnya menganggapnya stunting harus dicegah dengan susu.

Banyak ditemukan di lapangan, pemerintah mengeluarkan puluhan milyar untuk membeli telur, susu, daging tapi mereka tidak bisa memastikan apakah bantuan tersebut di komsumsi oleh anak yang terindikasi stunting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun