Daku dan beberapa kompasianers siang bolong berada di daerah Menteng yang dahulu merupakan kawasan hunian elit Hindia Belanda.
Bukan sebuah kebetulan, kali ini daku dan kompasianers lainnya ikutan walking tour 14 Agustus 2022 yang diadakan oleh Komunitas Traveler Kompasiana (KOTEKA) dan Wisata Kreatif Jakarta. Buat daku ini bagaikan reuni, sebelum reuni akbar di acaranya Opa Tjip.
Kenapa di Menteng? Karena di sana ada Museum Juang 45, Museum Naskah Proklamasi dan Monumen Proklamasi.
Bila kita tarik mundur ke belakang dan membaca di Wikipedia, historisnya Menteng merupakan perumahan villa pertama di kota Jakarta (dulu Batavia), yang dikembangkan antara tahun 1910 dan 1918.
Proyek Menteng ini dahulu dinamakan Nieuw Gondangdia yang menempati lahan seluas 73 ha. Batas selatannya adalah Banjir Kanal Barat yang selesai dibangun 1919.
Rancangan kawasan Menteng dari Mooijen kemudian dimodifikasi oleh F.J. Kubatz dengan mengubah tata jalan dan penambahan taman-taman hingga mencapai bentuk yang tetap antara 1920-an dan 1930-an.
Tentunya buat daku, walking tour ini membuat daku sebagai penjelajah waktu di mana dahulu kala, Ir. Soekarno dan Bung Hatta tinggal di kawasan ini dan memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
Daku melihat ke kanan dan ke kiri ternyata kawasan Menteng masih amat terawat dan masih menjadi kawasan elit. Tapi suasananya sudah amat berubah.
Ketika daku menyaksikan video Youtube, dahulu rumah-rumah tidak berpagar seperti yang kita tonton rumah-rumah di film Hollywood, namun saat ini setiap rumah berpagar tinggi. Mungkin dahulu konsepnya seperti rumah di Eropa, dan bisa jadi keamanan di daerah Menteng begitu aman.
Kembali ke walking tour, titik point pertemuan kami para kompasianers di Museum Joang 45 pukul 12.30 WIB. Kurang lebih 15 kompasianers berkumpul dari yang sudah saya kenal, sampai bertanya-tanya itu siapa? Kok cakep...eeehhh.
Bangunan oldiest dengan gaya arsitektur Indies Woonhuis dibangun pada tahun 1938 di zaman Hindia Belanda dan digunakan oleh pemerintah Belanda sebagai hotel dengan nama Hotel Schomper I yang dikelola keluarga keturunan Belanda bernama L.C. Schomper.
Menurut kak Ira Latief sebagai tim leader walking tour kali ini, dahulu Gedung Joang 45 merupakan tempat nongkrong anak muda era Adam Malik.
Tambah Ira, Gedung Joang 45 dahulu dikenal dengan nama Gedung Menteng Raya 31. Bangunan bersejarah ini tidak dapat dilepas dari perjuangan rakyat Indonesia mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Bangunan ini amat erat sebagai Gedung Pusat Kegiatan Pemuda dan Angkatan 45.
Bila daku lihat dari depan, bangunan utama Museum Joang 45 berbentuk persegi panjang dengan dua sayap di sisi kiri dan kananya. Bangunan walaupun didesain dengan gaya Eropa, tapi disesuaikan dengan iklim di Indonesia yang lembab dan panas. Terdapat jendela-jendela yang besar, iternit yang tinggi dengan atap bangunan ditutup genteng tanah liat khas bangunan Jawa.
Terdapat beberapa ruangan yang menyimpan koleksi sejarah; Ruang Teras, Ruang Pintu Masuk, Ruang Pendudukan Jepang, Ruang Seputar Proklamasi, Ruang Diplomasi, Ruang NKRI, Ruang Laskar Putri dan Ruang Semesta atau Ruang Memorabilia. Bagian belakang gedung terdapat bangunan yang menyimpan mobil yang digunakan Ir.Soekarno.
Setelah dari Gedung Joang 45 kami para kompasianers menuju Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang tidak jauh dari Taman Suropati.
Pada saat kami tiba, sedang terjadi persiapan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 77. Para peserta upacara bergaya ala pejuang Kemerdekaan, mereka layaknya cosplay.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini terletak di Jalan Imam Bonjol 1, Menteng, Jakarta. Sebelumnya bangunan ini merupakan tempat tinggal milik Laksamana Muda Tadashi Maeda. Sang Laksmana merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Indonesia pada masa Perang Pasifik.
Kak Ira Latief menjelaskan bahwa Laksamana Muda Tadashi Maeda sendiri merupakan seorang tokoh yang berperan cukup penting dan amat berjasa dalam Kemerdekaan Indonesia. Ia sangat mencintai Indonesia, dalam sebuah foto hitam putih, terlihat ia berfoto dengan keluarga menggunakan lurik Jawa.
Dirinya mengizinkan rumahnya untuk dijadikan tempat perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdampak ia dianggap penghianat ketika kembali ke negaranya.
Sebagai tempat tinggal, gedung ini amat luas dengan luas tanah 3.914 meter persegi dan luas bangunan 1.138 meter persegi. Bangunan di desain dengan gaya arsitektur Eropa beratap genteng.
Pada 16 Agustus 1945, Gedung ini menjadi saksi disusunnya perumusan naskah Proklamasi Indonesia. Naskah Proklamasi dirancang di Gedung ini oleh Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, dan Sayuti Melik (juru ketik).
Gedung ini memiliki empat ruangan di lantai satu yang menyimpan berbagai koleksi. Ruang Pertama menjadi tempat peristiwa bersejarah pertama dalam persiapan Perumusan Naskah Proklamasi Indonesia.
Ruangan Kedua menjadi tempat naskah proklamasi yang asli ditulis tangan oleh Soekarno. Selain itu, juga akan diperlihatkan sewaktu Soekarno bersama Hatta dan 50 orang Bapak bangsa lainnya mengumandangkan Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur.
Ruangan Ketiga, terdapat sebuah piano yang merupakan tempat di mana Soekarno-Hatta menandatangani naskah proklamasi Indonesia.
Ruangan Keempat, Di ruangan tempat di mana Sayuti Melik dan B.M. Diah mengetikkan naskah proklamasi Indonesia.Â
Lantai dua, lebih modern seperti museum pada umumnya yang menampilkan beberapa informasi sejarah. Pada bagian belakang rumah terdapat bunker, tempat menyimpan dokumen rahasia milik Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Setelah puas mengeksplorasi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, kami pun menuju titik akhir Monumen Proklamasi atau Tugu Proklamasi.
Tugu Proklamasi merupakan tugu peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang berdiri di kompleks Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat.
Taman tersebut dulunya bekas kediaman Sukarno yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur 56. Ira Latief amat menyayangkan kenapa rumah tersebut telah dihancurkan atas perintah sang proklamator Ir. Soekarno sendiri.
Gantinya, saat ini daku melihat dua patung Sukarno dan Hatta berukuran besar berdampingan. Di tengah dua patung terselip naskah Proklamasi yang terbuat dari lempengan batu marmer hitam.
Kedua patung memiliki berat 1200 kg dan tinggi 4,6 m, serta 4,3 m. Naskah Proklamasi berbentuk lempengan batu perunggu berukuran 196 cm x 290 cm, dengan berat 600 kilogram.
Tidak hanya kedua patung itu saja, dibagian belakang patung terdapat patung-patung monolitik bernomor 17, dengan yang tertinggi adalah 8 meter, dengan 45 tonjolan di air terjunnya, melambangkan tanggal 17 Agustus 1945.
Di depan kedua patung itu, terdapat lapangan yang ditengahnya terdapat tugu dengan lambang petir mirip logo super hero the flash. Disisi bagian kanan patung Soekarno berjarak kurang lebih 20 meter terdapat Tugu Peringatan 1 tahun Kemerdekaan Indonesia yang dibangun atas prakarsa Ikatan Wanita Djakarta
---
Buat daku Walking Tour Napak Tilas Kemerdekaan seperti membawa kenangan kembali 7 (tujuh) tahun lalu di tahun 2015. Tulisan dan foto kedua museum (Museum Joang 45 dan Museum naskah Proklamasi) tahun 2015 saat travelling Bersama Komunitas Backpacker Jakarta bisa ditampilkan Jerman oleh Kak Ganganwati.Â
Saat itu (2015) daku menjadi salah-satu pemenang blog competition foto Essai Hari Kemerdekan yang diselenggarakan oleh KOTEKA. Itu kenapa daku wajib ikutan walking tour ini, karena spesial.
Walking Tour ini bisa terselenggara didukung oleh KOTEKA, Kompasiana, Wisata Kreatif, dan Dinas pariwisata DKI Jakarta. Untuk itu daku amat berterima kasih.
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas
Twitter @andriegan I Tiktok @andriegan I Instagram @andrie_gan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H