Ukiran ini memiliki makna mengenai hubungan manusia dengan spiritual (leluhur). Setiap sosok/figur memiliki nama dalam ukiran mbitoro, dimana ada bagian manusia, pirisai, dan sayap.
Ukiran ini berhubungan dengan hubungan antar manusia dan hubungan dengan alam (spiritual). Mbitoro umumnya diletakkan didepan rumah teruntuk warga Suku Kamoro yang memiliki pengaruh/jasa.
Benda seni ukir yang dikirim dari Mimika sebanyak 194 item dan lebih dari 70-an diambil dari tempat penyimpanan di Tangerang. Benda seni ini tidak hanya dipamerkan tapi juga dijual bagi masyarakat yang berminat.
Luluk menjelaskan bahwa Yayasan MWK bersama PT Freeport Indonesia berusaha melestarikan, menjaga, membangunkan dan memberdayakan masyarakat Suku Kamoro.
Berdasarkan keterangan Luluk, Yayasan MWK (saat itu masih unit terpisah dari PT Freeport Indonesia) selama 25 tahun ikut terlibat untuk berjuang membangkitkan semangat ketika Suku kamoro mengalami penurunan (degradasi) mencipta karya seni.
Saat masa degradasi itu tidak ada makna, tidak ada semangat untuk mengukir sehingga karya seni ukir Suku Kamoro di era 90-an rentan hilang.
PT Freeport Indonesia (PTFI) kemudian menyetujui, memberikan dukungan dan mendanai gelaran event Kamoro Kakuru (Festival Kamoro).
Hadirnya Festival Kamoro itu ternyata bisa meyakinkan para seniman Suku Kamoro bahwa karya mereka memiliki nilai, makna, dan harga. Orang-orang yang mau membeli karya seni mereka itu karena menghargai. Hal itu yang membuat semangat mereka untuk bangkit kembali muncul.
Tidak hanya itu, agar ukiran serta seni budaya Kamoro lebih dikenal masyarakat luas, Yayasan MWK memperkenalkan karya seni Suku Kamoro melalui berbagai event budaya, baik di dalam dan luar negeri.
Akhirnya, pelan-pelan motif-motif ritual yang sempat hilang dapat dilahirkan kembali sampai sekarang. Karya seni itu bisa kita nikmati saat ini, diapresiasi dan dikenal publik.