Perjalanan mencari fakta itu merupakan jalan sunyi bagi dirinya. Ia merasa sunyi sekali tidak banyak teman, sendirian bahkan ia jungkir balik mendalami Sound of Borobudur.Â
Sampe akhirnya Trie Utami bertemu dengan kakak kandungnya Purwa Tjaraka. Ia pun menceritakan tentang keinginannya menghidupkan kembali alat musik yang berada di relief-relief Borobudur.Â
Purwa Tjaraka dijadikan teman diskusi oleh Trie Utami karena sangat mengerti musik. Komposer ternama Indonesia ini akhirnya mau terlibat dan mendampingi adiknya.Â
Kolaborasi ketiganya kemudian berlanjut dengan merencanakan untuk menghidupkan kembali alat musik yang terpahat di dinding Borobudur. Ketika dilacak, berhasil ditemukan alat-alat musik itu tersebar di 34 provinsi dan 40 negara dengan tingkat kemiripan yang sama.Â
Pertanyaan pun muncul, alat-alat musik ini berada di relief-relief Borobudur apakah Borobudur menjadi titik temu atau titik sebar ? Dalam diri mereka ingin rasanya mencari tau dan menjawab.
Trie Utami menegaskan kepada Purwa Tjaraka bahwa saat ini kita sedang tidak membuat group musik. Kemudian ia menunjukkan road map Sound of Borobudur.Â
Musisi jazz dan etnik ini menyampaikan harapannya kepada Gebenur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, agar kita bisa melihat Borobudur sebagai pusat dan monumen peradaban. Ia menganggap Borobudur pusat musik dunia, jika kita bisa menjalankan lokomotifnya (Borobudur) maka kita bisa menarik gerbong dibelakangnya.
Cerita maestro alat musik petik ini awalnya Sound of Borobudur terlahir dari Candi Borobudur dengan jaringan Kampung Nusantara yang sudah memiliki alat musik dari Kalimantan.Â
Setelah berjalannya gelaran Borobudur Cultural Feast, lalu Dewa Budjana dan Tri Utami berkonsentrasi mempelajari bentuk  alat musik yang terpahat di relief-relief Borobudur.Â