Aura mistis terasa. Bulu kuduk berdiri, merinding. Tubuh ini berada diantara jejeran makam yang tak tersusun rapi didepan sebuah bangunan, yang juga didalamnya terdapat beberapa makam kramat.Â
Makam kampung ini begitu dikramatkan. Kumpulan orang beristirahat di sebuah gubuk. Ada sekitar kurang lebih 10 orang disana. Ada apa gerangan? Komplek kuburan Marongge yang daku (saya) datangi.
Marongge oleh warga Sumedang dikenal sebagai tempat bagi yang tertarik untuk mendapatkan keampuhan pemikat ilmu pelet. Konon, berdasarkan cerita rakyat, pelet Marongge amat manjur dan orang yang dituju bisa klepek-klepek terkena api asmara.
Sejak lama, wisata pemikat asmara atau wisata ziarah Marongge yang berlokasi di Desa Marongge, Kecamatan Tomo, Sumedang amat populer. Bahkan banyak orang yang datang dari berbagai daerah mengunjungi komplek makam ini.
Daku sebetulnya datang ke Marongge karena sebuah tugas dari kegiatan marathon menulis yang diselenggarakan oleh Bitread Publishing berkerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Sumedang.Â
Kegiatan marathon menulis ini diberi judul Writingthon Sumedang, Paradise in West Java yang diselenggarakan selama 3 hari dari 17 s/d 19 desember 2020.Â
Bukan daku yang mendapat tugas mengulas Makam Marongge, tapi salah-satu peserta Writingthon Sumedang yang bernama Wulan. Kebetulan daku satu kendaraan dengan Wulan dan satu orang peserta lain dari Aceh yang bernama Azrul.Â
Daku mendapatkan tugas menceritakan instagramable nya Panenjoan dan kampung Buricak Burinong dan Azrul mengulas keindahan Tanjung Duriat dan Tegal Jarong.
Saat berada disana, jumat, 18 Desember 2020, kami mendengar langsung dari beberapa peziarah yang bersedia memberi keterangan kenapa mereka mau datang ke komplek makam Marongge. Berbagai cerita kami dengar dengan berbagai tujuan ziarah ke Marongge
Bagi yang datang untuk tujuan mendapatkan khasiat pelet atau pemikat asmara tidaklah mudah. Para pencari ajian pemikat ini wajib melakukan ritual merendam tubuhnya di Sungai Cilutung pada waktu tengah malam. Sungai tersebut berjarak 400 meter dari lokasi makam keramat, begitu yang disampaikan oleh salah-satu peziarah.
Di akhir ritual, peminat ilmu pelet diwajibkan melepaskan pakaian dalam masing-masing, lalu menghanyutkannya di sungai. Hal ini merupakan simbol buang sial.
Bagi yang telah menyelesaikan tahapan ritual, dengan buang sial ini diartikan akan memasuki kehidupan baru. Bagi yang percaya dan yang menyakini ritual ini, akan mendapatkan cinta dari sang pujaan hati. Percaya atau tidak, itu yang mereka ceritakan.
Kekuatan pemikat asmara ini berdasarkan cerita rakyat dan pengunjung yang berasal dari ajian si kukuk mudik. Ajian itu adalah peninggalan Mbah Gabug, laskar perempuan yang sangat cantik yang berasal dari kerajaan Mataram.
Terdapat lima makam yang disakralkan di Komplek Marongge. Ada makam Mbah Gabug, Mbah Naibah, Mbah Naidah, Mbah Setayu dan Mbah Haji Putih Jaga Riksa (orang tua dari 4 makam lainnya). Keempatnya dikenal sangat cantik dan melajang sampai akhir hayatnya.
Menurut salah-satu pengunjung, Ade, nama Marongge berasal dari cahaya dari orang bertapa dibawah rumpunan bambu. Kemudian Marongge dijadikan nama desa. Ada pula yang bercerita bahwa rengge merupakan sebutan lain untuk pohon haur bukan bambu.
Di sebelah makam terdapat tempat bertapa Mbah Gabug yang ditandai dengan batu yang diselimuti oleh kain putih. Batu ini merupakan pertanda dimana mbah Gabug muksa.
Terkisah, keempatnya tergolong perempuan sakti. Tidak ada satu pria pun yang melamar bisa menandingi kesaktian tersebut, sehingga keempatnya berstatus lajang hingga akhir hayatnya. Kesaktian 4 (empat) laskar wanita asal Mataram ini berasal dari selendang sakti Cindewulung.
Alkisah, Mbah Gabug menghanyutkan buah kukuk ke sungai, yang menjadi syarat sayembara bagi kaum adam yang berniat menikahi Mbah Gabug. Tapi, tidak satu pria yang mampu mengembalikan kukuk tersebut.Â
Bahkan, Mbah Gabug membuktikan kesaktiannya dengan cara mengembalikan kukuk melawan arus sungai. Dari peristiwa itulah muncul istilah si kukuk mudik.
Menurut keterangan pedagang di pinggir jalan depan pintu masuk makam mengatakan, peziarah yang datang tidak hanya hanya untuk mendapatkan khasiat pelet Marongge. Tegasnya, Jodoh dapat diartikan jodoh harta, jodoh jabatan, jodoh kesehatan dan jodoh lainnya.
Peziarah yang datang ke Marongge dengan keinginan tertentu, diharuskan membawa persyaratan khusus.Seperti kembang, kemenyan, dan minyak wangi. Selain itu ada bacaan yang harus mereka lafalkan bahkan berpuasa dan menginap di kawasan makam.
Di komplek pemakaman, selain terdapat bangunan tempat makam empat putri dan tetua desa Marongge, juga ada beberapa bangunan untuk menampung peziarah yang akan bermalam di sana.Â
Makam keramat Marongge ramai dikunjungi oleh peziarah pada malam Jumat kliwon. Sebelum Pandemi Covid-19 melanda, setiap malam Jumat Kliwon ratusan peziarah datang dari berbagai daerah dan memadati area makam keramat ini.
Destinasi wisata ziarah ini terletak di gunung Hade, termasuk Desa Marongge KecamatanTomo, Sumedang. Lokasinya sekitar 40 km ke arah timur dari ibukota Kabupaten Sumedang, di jalan raya Tolengas- Cijeungjing, yang berbatasan dengan Kecamatan Kadipaten, Majalengka.Â
Bagi wisatawan Jabodetabek yang akan mengunjungi Jatigede dapat mampir ke Marongge. Bila nyasar gunakan teknologi google map
_
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I web I Email: mastiyan@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H