Sang penjual menyediakan beberapa kursi kecil untuk para pembelinya. Ketika kami datang terlihat beberapa pengunjung tak segan duduk di anak tangga.
Keduanya memiliki peran masing-masing, dimana Bapak Pranata yang belanja dan sebagai kasir sedangkan Ibu Kusnia yang memasak dan melayani.
Ibu Kusnia memasak sendiri ayam goreng serundeng, karena merasa khawatir bila orang lain yang memasak bisa membuat cita rasa berbeda.Â
Ketika ditanya apa rahasia kulinernya? Ia terlihat enggan menjawab hanya mengatakan bahwa ini merupakan ayam goreng pada umumnya yang ditaburi oleh serundeng.
Sajian andalan pasutri ini nasi putih berbungkus daun pisang dan ayam goreng yang bisa dipesan sesuai selera. Simpel memang tapi tampaknya rasa ayam goreng serundeng ini begitu menggoda selera.Â
Tampilan dan jenis makanannya terlihat sederhana tapi entah kenapa ada aura tertentu dari kumpulan daging ayam dan tumpukan sate berbagai macam ini. Apakah mitos yang mengatakan kuliner yang melegenda itu enaknya makan dilokasinya tidak dibawa pulang ke rumah?
Untuk menghapus rasa penasaran pun daku menunggu sambil melongo kapan giliran ditanya oleh ibu. Ketika giliran daku tiba, langsung memesan potongan daging ayam dan 2 tusuk sate kulit.
Dalam pikiran daku ayam goreng serundeng pastinya punya sensasi lebih dari sekadar ayam goreng biasa. Otak ini berimajinasi taburan serundeng yang terbuat dari parutan kelapa akan membuat rasa ayam goreng lebih gurih, krinyis-krinyis, dan makyus tentunya.
Seketika jari jemari ini bergerak menyuir potongan daging dada ayam goreng. Di atas potongan daging ayam goreng tertabur serundeng yang berwarna coklat gelap. Kuliner ini begitu terlihat eksotik dalam pandangan.
Ternyata benar imajinasiku, daging ayamnya empuk dan krinyis-krinyis gurihnya. Ternyata bikin ketagihan, yang membedakan ayam goreng pada umumnya yaitu ayam gorengnya seperti digoreng ala rumahan bukan ala fried chicken.Â