Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ride Sharing" Solusi Kemacetan Jakarta Yang Masuk Akal

6 November 2017   21:43 Diperbarui: 8 November 2017   18:58 1975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sepekan pasti ada saja dipojokkan tempat kerja daku yang membahas kemacetan Jakarta. Apakah kemacetan itu di Kemang, kawasan Cawang, seputaran Tugu Pancoran, Jalan Gatot Subroto, Jalan Raya Bogor depan RS.Polri Sukamto & Pasar Induk Kramat Djati yang merupakan lokasi jalur neraka kawasan kemacetan parah pada saat jam dan hari kerja.

Sumber kemacetan tersebut karena banyak faktor, seperti jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas jalan untuk menampungnya, pembangunan infrastruktur jalan baik underpass dan fly over, pembangunan infrastruktur MRT dan LRT, pasar tumpah, parkir liar, jalan putar balik dan masih banyak lagi lainnya.

Daku merasakan sendiri sekitar tiga bulan lalu ditugasi oleh manajemen RSKO Cibubur untuk mengikuti upacara di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berada di Kuningan, Jakarta Pusat. Upacara dijadwalkan pukul tujuh tiga puluh pagi hari. Saat itu daku berangkat dari Cikeas pukul lima pagi sampai Kemenkes pukul delapan. Daku beruntung karena saat itu panitia upacara masih menyiapkan barisan peserta dari masing-masin Unit Pelayan Teknis (UPT) dibawah naungan Kemenkes.

Kenapa daku tidak bisa mencapai lokasi tepat waktu dikarenakan kemacetan Jakarta yang menghadang daku di Jalan Raya Bogor, Cawang, Pancoran, dan putar balik dibawah underpass Jalan Gatot Subroto menuju kuningan. Kendaraan roda empat dan roda lima menumpuk di titik lokasi dengan melaju perlahan dan daku membayangkan di kepala pengendara roda 2 dan roda 4 seperti berucap 'kapan sampainya ??? ....'

Deskripsi : ilustrasi kemacetan I Sumber Foto : TribunNews
Deskripsi : ilustrasi kemacetan I Sumber Foto : TribunNews
Bila mendengar dari hasil obrolan bersama teman-teman daku ditempat kerja muncullah beberapa solusi ala warung kopi yaitu ; pembatasan umur kendaraan, pembatasan jumlah penjualan kendaraan sesuai jumlah kendaraan dijalan seperti yang diterapkan di Singapura, pajak berlipat, nebeng bareng, mewajibkan bagi perusahaan yang memiliki pegawai 1.000 orang memiliki bus atar jemput, jalan protokol berbayar, menaikkan tarif parkir dan banyak lagi lainnya. Beberapa solusi yang sebetulnya ada benarnya tetapi dalam pelaksanaannya sejatinya tidak mudah.

Uber Memberi Solusi Kemacetan Dengan 'Ride Sharing'

Bagi daku ada solusi yang masuk akal yaitu nebeng atau bahasa kerennya 'Ride Sharing'. Sebetulnya 'Ride Sharing' ini sudah kita rasakan dalam beberapa tahun terakhir yang banyak orang menyebutnya 'Taxi Online'. Salah-satu pelaku usaha nya ialah 'UBER' yang dikita kenal dengan logo ikon lingkaran dengan kotak di tengahnya, dengan warna biru / hitam untuk pengguna dan merah untuk pengendara Uber. Uber menyebutnya sebagai red magnet. Ride sharing ini yang telah hadir di Indonesia sejak 2014.

Sebetulnya 'Ride Sharing' bukanlah Taxi. Lebih tepatnya transportasi dengan menggunakan tehnologi informasi (TI) berbasis aplikasi online dalam mendapatkan layanan. Walaupun memiliki kesamaan dalam penentuan tarif berdasarkan jarak, tetapi ride sharing dapat memberikan biaya yang lebih murah dari taxi konvensional. Karena kendaraan pribadi maka pemilik kendaraan tidak memiliki kesamaan dalam cat dan aksesoris kendaraan dengan pemilik kendaraan UBER lainnya. Dalam hal keselamatan kepada penumpang tetap merupakan kewajiban.

Kenapa 'Ride Sharing' perlu dilakukan masyarakat perkotaan ? ...... Urbanisasi telah terjadi dalam beberapa dekade di Indonesia. Ditahun 2030 diperkirakan lebih dari 30 juta orang akan bergerak menuju kota-kota besar. Penyebab dasarnya ialah asumsi tingkat ekonomi kota-kota besar yang lebih baik dari pedesaan. Selain itu upah yang lebih tinggi yang diterima oleh para pekerja di kota, contohnya Upah Minimum Provinsi (UMP), dan beralihnya pemuda dari kegiatan pertanian ke industri manufaktur dan jasa di perkotaan.

Urbanisasi juga dapat menimbulkan dampak terhadap faktor inklusivitas, lingkungan hidup, efisiensi ekonomi, dan kesehatan. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana Indonesia merancang tata kotanya, sistem transportasi, dan mengurangi pengangguran karena ini menyangkut masalah kriminalitas. 

Dengan pergerakan penduduk yang meningkat karena urbanisasi, DKI Jakarta menerima dampaknya. Para masyarakat urban yang mapan dan yang merasa mapan ini banyak yang sudah memiliki kendaraan roda 2 dan roda 4. Berujung pada kemacetan yang terjadi di jalan-jalan DKI Jakarta. Dalam sebuah video yang daku lihat di youtube yang berjudul "Boxes I Ayo kita #UnlockJakarta" menunjukkan keruwetan kota bila sebagian besar warga nya memiliki kendaraan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun