Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Kartini Membuka Kotak Pandora

26 April 2017   16:05 Diperbarui: 27 April 2017   04:00 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kotak pandora itu terbuka. Ibu baru berani menceritakan masa kecil yang kelam setelah menonton Film Kartini. Ia berucap bahwa film tersebut membuat dirinya sedih melihat apa yang terjadi pada  R.A.Kartini. Kemudian melanjutkan ucapannya walaupun masa kecil Ibu begitu sedih tetapi masih memiliki kebesan dibandingkan dengan anak bangsawan bergelar Raden Ayu itu. 

Film Kartini seperti membongkar rahasia bagaimana budaya kita terlihat kejam pada wanita priyayi. Pasca haid, para gadis priyayi dalam film ini ditunjukkan bahwa mereka mengalami proses pengasingan atau dipingit. 

 Kartini mulai menulis surat ke teman-teman Belanda dan Pemerintah Hindia-Belanda―yang kemudian disunting dan dibukukan oleh H.J. Abendanon sebagai Door Duisternis tot Licht―di usia ke-20, empat tahun setelah ia bebas dari pingitan.

 Bila gadis priyayi Jawa dipingit di sekitar usia ke-12, saat pertama kali datang bulan, dan baru bebas saat diperistri pria yang belum mereka kenal, Kartini ‘hanya’ dipingit sampai usia 16 tahun. Dan bila dalam pemingitan itu mereka harus belajar tata krama perempuan dan istri priyayi, Kartini justru membaca buku, majalah, koran, jurnal ilmiah, bersurat-suratan dengan teman-temannya di Europese Lagere School (ELS), melukis, dan bergaul dengan para pejabat Belanda tamu ayahnya (surat ke Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899 dan 6 November 1899).

 Adalah ayahnya, R.M Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara yang memungkinkan itu. Ia adalah seorang dari empat bupati Jawa yang berpendidikan Eropa. Lumrah, ia kirim ke-11 anaknya ke sekolah Eropa. Ayahnya juga pernah menyurati Pemerintah tentang perlunya pendidikan pribumi (surat ke Stella Zeehandelaar, 12 Januari 1900).

 Sebagai priyayi, ayahnya berpoligami. Kartini adalah anak selirnya: Ngasirah. Kartini tak pernah secara langsung menceritakan ibu kandungnya itu di surat-suratnya. Tetapi ia tahu penderitaannya sebagai selir: “Tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak sangat menderita karenanya. Hampir tiap perempuan yang saya kenal di sini mengutuk hak laki-laki itu” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).
 Maka, bagi Kartini, ayahnya adalah representasi tradisionalisme Jawa yang ia tentang. Tetapi ayahnya itu juga sekaligus merupakan representasi modernitas Barat yang ia dambakan, yang memberinya ilmu, ide kesetaraan manusia dan skalar penakar tradisionalisme Jawa itu.

 LIBERALISME dan POLITIK ETIS
 Bila saya tak salah hitung, sejak 1899, di usianya ke-20, sampai wafatnya di 1904, Kartini telah menulis 149 surat. Surat-surat yang jarang pendek dan berbahasa Belanda itu bertutur tentang berbagai buku, jurnal ilmiah, koran dan majalah yang ia baca, nasib pribumi dan perempuan pribumi, kisah “Tiga Serangkai” (Kartini, Roekmini dan Kardinah), modernitas dan kesetaraan manusia Barat. Di usia ke-16 ia mulai menulis untuk koran De Locomotief (Semarang), majalah De Gids, De Echo, dan majalah perempuan De Hollandsche Lelie yang terbit di Belanda. Tulisan-tulisannya merentang dari sejarah batik Hindia-Belanda, perlunya sekolah bagi perempuan pribumi sampai emansipasi perempuan.

 Ia pun membaca sastra, sejarah, feminisme dan tata pemerintahan. Kisah Joan of Arc, wanita yang membebaskan Prancis dari Inggris, membuatnya berpikir mengapa banyak pejuang mati muda; Max Havelaar, karya Multatuli, membuatnya tahu bagaimana pejabat kolonial dan pribumi menindas rakyat pribumi; Hilda van Suylenburg dan Moderne Vrouwen―tentang emansipasi wanita Barat―memperkenalkannya pada istilah emansipasi wanita. Bahkan Pramoedya Ananta Toer memperkirakan Kartini, seperti remaja feodal lain kala itu, juga membaca Centhini, Wulangreh, hikayat wayang dan hikayat panji (Panggil Aku Kartini Saja, 1997: 74).

 Bacaan dan pergaulannya yang luas dan kemampuannya menulis mencerminkan kecerdasannya. Semua itu tak lepas dari peran ayahnya, para liberalis (Ovink-Soer, suami-istri Abendanon, dan van Kol) dan Politik Etis.

 Kemenangan kelompok Liberal di Belanda pada 1860-an turut mengubah pola penjajahan Hindia-Belanda. Cultuurstelsel bertahap dihapuskan, dan kolonialisme dijalankan oleh para kapitalis swasta bersama pemerintah. Berbagai perkebunan dan pabrik dibuka. Sawah-sawah dialihfungsikan menjadi kebun tebu dan tanaman ekspor lainnya selama 75 tahun (Agrarische Wet 1870). Hutan-hutan dijadikan perkebunan teh, kopi dan kawasan jati. Para petani dan pribumi dijadikan buruh perkebunan dan pabrik. Kelas feodal dijadikan pegawai negeri, dan di antaranya kakek dan ayah Kartini. Itu sebabnya Kartini sekeluarga akrab dengan para pejabat Belanda, sekolah di sekolah Eropa, dan bisa mengakses bacaan berbahasa Belanda. Maka, Politik Etis―yang dimulai pada 1901 saat Ratu Wilhelmina berpidato di Parlemen tentang ‘kewajiban moral’ pemerintah menyejahterakan pribumi―hanya meluaskan aksesnya ke modernisme.

 KADIPATEN JEPARA sebagai HETEROTOPIA: AMBIGUITAS dan KESUBVERSIFAN KARTINI
 Isi surat-surat Kartini saya petakan sebagai berisi masalah tradisionalisme Jawa dan modernisme Barat. Ia memang memuji batik, gamelan dan ukiran Jepara. Bahkan bersama Abendanon―Direktur Kementerian “Pengajaran, Ibadah dan Kerajinan” itu―ia memasarkan ukiran itu ke Eropa. Namun, ia juga mengidentikkan tradisionalisme Jawa itu dengan poligami, pemingitan wanita dan unggah-ungguh hirarkis.

 Ia tak pernah langsung membahas poligami ayahnya. Tetapi ia melawannya: “Satu-satunya yang boleh kami mimpikan ialah: hari ini atau besok menjadi isteri yang kesekian bagi salah seorang laki-laki. Saya menantang mereka yang dapat menunjukkan ketidakbenaran hal ini” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

 Baginya pemingitan adalah pengurungan dalam kotak dan pemutusan dari dunia luar: “Pada umur 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk ‘kotak’ … Empat tahun yang berlangsung sangat lama itu saya habiskan di antara empat dinding tebal, tanpa pernah melihat sesuatu pun dari dunia luar” (surat ke Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899). Namun, ia tak sungguh terasing. Ia jadikan berbagai bacaan Belandanya sebagai jalan ke dunia luar.

 Kartini pun sebal pada unggah-ungguh Jawa: “Sungguh keterlaluan adat sopan-santun pada kami .. Adik saya baik laki-laki atau perempuan tidak boleh beraku-engkau kepada saya dan hanya dalam bahasa Jawa kromo mereka boleh menegur saya; dan setelah kalimat selesai mereka ucapkan, mereka harus menyembah kepada saya” (surat ke Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899).

 Kartini menyadari keburukan kolonialisme. Tetapi, baginya, pengetahuan dan modernitas Baratlah yang dibawa oleh Kolonialis Belanda itu yang bisa menghapuskan tradisionalisme Jawa dan membebaskan wanita Jawa: “Orang menganggap penuh ‘omong-kosong’ terhadap buku-buku yang datang dari Barat .. Pendapat orang tadi tidak seluruhnya betul. Bukan hanya buku-buku yang membuat anak gadis itu .. benci akan keadaan yang sejak zaman dahulu kala telah ada dan merupakan azab bagi semua kaum yang bernama perempuan. Keinginan terhadap kebebasan, berdiri sendiri dan kemerdekaan, bukan baru-baru saja .. Keadaan dalam lingkungan yang langsung dan tidak langsunglah yang menumbuhkannya” (surat ke ny. Abendanon, Agustus 1900).

 Maka, Kartini menghidupi dan hidup di dua ruang. Dalam banyak waktu, rumahnya, Kadipaten itu, adalah ruang dengan relasi-relasi kuasa tradisional Jawa (unggah-ungguh hirarkis dan poligami). Kedua hal itu, setidaknya, telah mendisiplinkan pikiran, tutur dan tindakannya. Tetapi, beranda dan ruang makan, saat ayahnya menerima dan menjamu para pejabat Belanda, berubah menjadi ruang yang kritis terhadap tradisionalisme Jawa. Sebab saat itu ia bisa bertukar pikir dengan mereka. Bahkan kamar tidurnya yang sempit juga merupakan ruang yang kritis. Di situ ia bisa membaca berbagai buku atau majalah Barat, dan juga menulis surat-surat yang mempersoalkan tradisionalisme priyayi Jawa sambil sekaligus memuji modernitas Barat.

 Maka, dengan mengutip Michel Foucault, saya menganggap Kadipaten, bagi Kartini, adalah sebuah heterotopia (ruang lain), yakni sebuah ruang yang menghidupi dua narasi yang bertentangan: tradisionalisme Jawa yang menindas perempuan dan modernitas Barat yang menjanjikan emansipasi perempuan dan manusia. Ia rawat narasi-narasi tentang Kadipaten itu dalam surat-suratnya.

 Itu sebabnya Kartini senantiasa hidup dalam ambiguitas. Ia ambigu bukan hanya dalam kekagumannya pada berbagai karya seni adiluhung (seni yang penuh dengan nilai-nilai keutamaan) Jawa (batik, wayang, gamelan dan ukiran), tapi juga kegeramannya pada tata krama adiluhung Jawa yang menindas perempuan. Ia pun memandang ayahnya secara ambigu, yaitu sebagai representasi tradisionalisme Jawa yang menindas, tapi juga pemberi orientasi pada modernitas Barat. Maka dalam suratnya kepada Stella ia menulis, bahwa ia tak akan mampu melawan seandainya ayahnya memintanya untuk menikah: “Kamu selalu mempertentangkan ‘harus’ dengan ‘saya mau’. Terhadap orang lain, saya pasti akan berbuat demikian juga, tetapi terhadap Ayah, saya tidak akan sanggup, lebih-lebih sekarang. Apa yang harus saya lakukan tidak saya pandang sebagai suatu ‘keharusan’, tetapi sebagai sesuatu yang dengan sukarela saya tanggung untuk ‘beliau’. Saya mengarang, melukis dan mengerjakan semuanya, karena Ayah menyenangi hal seperti itu. … Kasih sayang saya pada Ayah tak terkatakan! Saya akan teramat susah, kalau sekiranya Ayah menahan cita-cita saya untuk bebas. Tetapi akan lebih tak terhingga lagi sedih hati saya, jika keinginan saya yang sungguh-sungguh dipenuhi, tetapi saya harus kehilangan cinta kasih Ayah” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

 Berbagai bentuk relasi kuasa di ruang-ruang itu mendisiplinkan pikiran dan strateginya saat melawan tradisionalisme Jawa. Perlawanannya itu tak konfrontatif, tetapi subversif (merongrong). Ia terima keberatan ayahnya, lewat Abendanon, untuk tak studi di Belanda. Ia terima lamaran Bupati Rembang. Namun, semuanya dengan syarat ia boleh mendirikan sekolah perempuan, tak melakukan bentuk-bentuk tertentu upacara nikah, dan suaminya tak menikah lagi. Ambiguitas dan kesubversifan ini, saya kira, salah satu sumbangan terbesarnya bagi gerakan perempuan. Pada akhirnya Kartini kalah, tapi ia tetap secara radikal melawan.

 Maka, saya setuju Goenawan Mohamad yang mengajak kita untuk tidak melihat heroisme Kartini. Karena Kartini memang melawan dalam ambiguitasnya. Tapi saya tak setuju dengan Goenawan Mohamad yang cenderung tak mengakui perlawanannya selain kekalahan tragisnya atas berbagai harapan yang ia lontarkan dalam surat-suratnya:

 "Maka, kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya. … Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi. … Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya" (Catatan Pinggir, Tempo, , edisi. 44/XXXV/25 - 31 Desember 2006).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun