Pendek atau Kurang Tinggi itu yang daku (saya/aku) rasakan pada saat sekolah dasar s/d sekolah menengah umum (SMU). Saat itu bahkan tinggi daku tidak lebih tinggi dari teman-teman perempuan. Bahkan ada beberapa teman memanggil daku dengan sebutan Kate (KT) atau Kurang Tinggi. Pada saat sekolah dasar bahkan guru menempatkan dibarisan depan tempat duduk. Padahal diri daku ingin sekali bisa duduk di belakang. Penderitaan daku makin lengkap ketika daku juga memiliki kekurangan dengan mata juling. Ejekan pada masa usia dini sampai dengan usia sekolah menegah ternyata menganggu kejiwaan daku pada saat itu sehingga menjadi pribadi pendiam dan introvert.Â
Perubahan tinggi badan mulai daku rasakan ketika di akhir masa sekolah menengah atas dan masa perkuliahan. Asupan gizi yang cukup dan lebih sering menerima asupan makanan dengan tinggi protein serta 5 sehat 4 sempurna membuat saat ini daku tidak merasa pendek lagi. Seiring peningkat ekonomi keluarga dan mungkin saja DNA tinggi badan yang baru ON dimasa-masa akhir masa Sekolah Menegah Atas membuat perubahan. Naiknya tinggi badan merubah kepribadian daku ke arah extropert bahkan saat ini di tempat kerja di RSKO kalau tidak ada Agan (panggilan di RSKO) di Kantin tidak ada yang ngeramein. Di Kompasiana nangkring bahkan disebut kompasianers yang suka bikin rusuh.
Tetapi apakah pendek merupakan indikasi kurang gizi !!!! ...... kalau ditanyakan kepada daku pada saat sekolah dasar s/d sekolah menegah pastinya daku tidak terima apalagi ditanyakan kepada bokap-nyokap daku. kalau bilang 'IYA' bisa di diusuruh berdiri satu kaki sambil jewer kuping sendiri. Daku mengungkapkan bagaimana perasaan daku bahwa tinggi badan dapat menganggu kejiwaan anak. Pendek atau kurang tinggi bisa dicegah sejak dini yaitu masa periode emas ( seribu hari pertama kehidupan) dimana peran perempuan khususnya IBU sangat dibutuhkan.
Dialog Nasional - Generasi Terselubung Menuai Generasi Hilang, Bagaimana Peran Perempuan Indonesia ?
Ibu Menkes Prof. Dr. dr. Nila Djuwita F. Moeloek, SpM (K)Â berkelakar banyak anak kekurangan gizi karena banyak IBU yang berkerja, sambil menunjuk dirinya sendiri "Termasuk saya ya juga Berkerja" . Ternyata maksud hati Ibu Menkes adalah pada peryataan selanjutnya "Ibu boleh berkerja tetapi jangan melupakan asupan Gizi bagi anaknya apalagi di masa periode emas (seribu hari pertama kehidupan)".
Resiko penyakit maupun kematian dimana usia dini merupakani segmen masyarakat yang paling rentan dibandingkan orang dewasa. Kesehatan anak merupakan tanggung jawab bersama dan tentunya keluarga memberikan perhatian & berkomitmen terhadap peningkatan kesehatan anak. Keluarga disini jangan hanya dibebankan kepada IBU, seorang bapak dan anggota keluarga lain juga harus berperan.
Dalam 10-20 tahun ke depan pada masa window of opportunity, kelompok penduduk usia anak (0-18 tahun) yang ada pada saat ini akan menjadi kelompok yang menentukan apakah bonus demografi akan menjadi berkah atau justru sebaliknya akan menjadi bencana, ujar Ibu Menkes. Saat ini bangsa Indonesia menghadapi masalah gizi ganda. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi kurang gizi dan pendek di Indonesia masih cukup tinggi, masing-masing 19,6% dan 37,2%. Di sisi lain prevalensi gizi lebih pada Balita sudah mencapai 11,9%.
Masalah pendek atau tinggi badan yang kurang ini ternyata di riset untuk menetukan gizi anak Indonesia. Kurang tinggi yang anak-anak sekarang memanggilnya kate (KT) merupakan sebuah momok apalagi cowok yang memiliki pasangan (wanita) suka pakai high heels. Bagaimana negara bisa menyelamatkan jiwa-jiwa pria ini !!!! ....
Kurang Tinggi / Pendek Bisa Jadi Ada masalah Asupan Gizi