Mohon tunggu...
Nandita Sulandari
Nandita Sulandari Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Independen

Tinggal di Ubud Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Jatim, Pertarungan Pengaruh Jokowi Vs SBY

8 Desember 2017   13:46 Diperbarui: 8 Desember 2017   13:50 2768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan SBY dalam sebuah kesempatan di Istana Negara (Sumber Gambar : Tribunnews.com)

Tak pelak lagi Pilkada-Pilkada di Wilayah Jawa sesungguhnya adalah babak pembuka dalam pertarungan politik 2019 dan tingkat pengaruh elite dalam memperebutkan wilayah massa-nya.  Kemenangan Pilkada juga bisa diartikan sebagai "Gambaran Bagaimana Efektifitas Pengaruh Penguasa Bekerja" apalagi di alam demokrasi saat ini, dimana penentuan pengaruh Presiden juga ditentukan bagaimana mereka mempengaruhi rentang kendali kekuasaannya. 

SBY di masa lalu adalah Presiden yang paling lihai dalam merebut kekuasaan dengan cara "sistem ijon", dan cilakanya yang dikerjain PDI Perjuangan terus. Setelah membentuk opini sebagai pihak yang didzalimi, SBY kala itu terus menerus membuat PDIP seakan mati langkah dengan serbuan opini publik yang luar biasa, dimana rezim SBY secara efektif mengelolanya. SBY mendekati Gamawan Fauzi untuk dijadikan "biru", kemudian yang paling heboh adalah  Mangku Made Pastika, diakuisisi SBY dari PDI Perjuangan. Kelihaian SBY dalam mengakuisisi banyak tokoh penting PDIP ini menjadi batu pijakan cara SBY meraih kekuasaan, dan salah satu ciri utamanya menekan PDIP. 

Namun setelah PDIP dengan cerdik memasang Jokowi menjadi kekuatan politik besar, bahkan menembus jadi Presiden. Di titik inilah SBY mati langkah. Bila sebelumnya elite PDIP selalu bingung bila berhadapan dengan SBY, maka Jokowi mampu membuat SBY berada di sudut ring politik dengan wajah bisu. 

Setelah masa kekuasaan SBY habis sebagai Presiden, karena UU Presiden hanya mengatur jabatan dua periode. Banyak orang mengira pengaruh SBY akan habis, dan terbukti memang Partai Demokrat yang ditahun 2009 saat Pemilu Legislatif memperoleh angka fantastis : 20,85 %, anjlok menjadi 9,43% Banyak pihak memprediksi bahwa Demokrat tidak bisa lagi menjual sosok SBY. Saat itu juga ada kecenderungan, kantong-kantong massa di pihak Demokrat, berangsur angsur kembali ke Partai Partai awal. Memang Demokrat dikenal banyak menarik kader kader lain partai untuk bergabung sehingga banyak "wilayah caplokan yang diambil". 

Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah salah satu contoh bagaimana kantong kantong politik SBY tidak berjalan efektif, mesin pemilihnya tidak didasarkan pada wilayah dengan dukungan loyal. Agus Harrymurti Yudhoyono (AHY) salah satu gacoan paling tinggi berani dipertaruhkan namun rupanya gagal total. Kisah AHY di Pilkada DKI Jakarta, dibumbui dengan pertarungan marathon Jokowi dalam narasi "Makan Siang" dan juga "Lebaran Kuda" menjadikan SBY habis habisan dibully oleh publik. 

Setelah kekalahan di Jakarta, SBY masih ingin mengujicoba pengaruhnya di Jawa Timur. Di Jatim ia merasa masih mempunyai loyalis seperti Soekarwo atau dikenal dengan sebutan "Pakde Karwo". Pengaruh Sukarwo banyak berpusat di wilayah Mataraman (sebuah wilayah di Jawa Timur yang masih terpengaruh budaya Mataram Kotagede). Wilayah ini merupakan wilayah terpadat di Jatim. Dan wilayah ini sebenarnya adalah basis dari kaum Nasionalis.  Di basis ini pula kantong-kantong Anas Urbaningrum, -eks anak buah SBY yang mbalelo-, tidak memiliki pengaruhya.  Bila kemudian "Basis Soekarwo" menjadi taruhan politik SBY, kemungkinan besar di tahun 2019, SBY bisa memasang Soekarwo menjadi Mendagri pada Kabinet 2019. Siapapun Presidennya. 

SBY menaruh pesaing abadi Pakde Karwo yaitu : Khofifah, dan uniknya SBY memperlihatkan tabiat lamanya, yaitu merebut milik PDI Perjuangan yaitu : Emil Dardak. Tapi apakah bisa SBY memenangkan pertarungannya di Jawa Timur. 

Mari kita lihat hitung-hitungannya : 

Untuk wilayah-wilayah NU, kekuatan politik Gus Ipul tidak ada yang bisa menandingi. PKB sangat efektif bekerja di Jatim. Pada pemilu legislatif lalu suara PKB adalah 9,04 %, bayangkan 20 kursi dan semuanya berpusat di wilayah basis NU yaitu : Sidoarjo, Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo,  Bondowoso, Situbondo, Jember, Kota Batu, Trenggalek, Jombang, Kabupaten  Madiun, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Pamekasan, dan Sumenep. Kembalinya kekuatan PKB ini adalah merebut kekuasaan yang direbut Demokrat pada 2009. 

Untuk wilayah Mataraman, mesin politik PDIP masih sangat efektif : Surabaya, Kota Probolinggo, Banyuwangi, Lumajang, Kota Malang, Kabupaten  Malang, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri,  Tulungagung, Magetan, Ngawi, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, dan  Nganjuk.

Sementara Demokrat hanya bisa menjaga suaranya di kota Madiun (wilayah basis Soekarwo), Pacitan dan Sampang.  Ini artinya "Demokrat dengan mudah dikalahkan". 

"Mematikan Karir Dardak"

Walaupun beberapa pihak menghembus-hembuskan bahwa Khofifah mampu memecah suara NU, namun perlu diperhatikan bahwa pertama-tama posisi NU sekarang amat dekat dengan Pemerintahan Jokowi dan secara naluri politis masih merapat ke PDIP. Sementara yang dimanfaatkan Khofifah hanya kubu NU garis tepi yang berseberangan posisinya dengan KH Agil Siradj. 

Seperti diketahui saat KH Agil Siradj sendiri bertemu dengan Ketum PDIP sehari sebelum penetapan Gus Ipul dan Anas oleh pihak PDIP sebagai pihak yang mendapat rekomendasi untuk maju. Kekuatan kultural NU ini mendapatkan gong-nya saat Cak Imin memberikan dukungan penuh. Perlu diketahui mesin partai PKB paling keras putarannya berada di Jatim. Ini artinya kekuatan Gus Ipul dan Anas adalah kekuatan besar dengan tingkat koalisi partai full speed. 

Kekuatan Gus Ipul dan Anas menguasai seluruh kantong kantong politik di Jatim. Apalagi PDIP sendiri memasang Untari sebagai sekretaris tim sukses, pengaruh Untari menguasai pemilih perempuan di seluruh kantong kantong politik Mataraman. Belum lagi Risma yang akan menjadi mesin pendorong ibu-ibu dalam membangkitkan emosional pemilih, di awal kekuatan suara perempuan Khofifah sudah dilumpuhkan oleh sosok Risma. Sementara diangkatnya Hikmah Bafaqih, ketua Fatayat NU adalah kemenangan di pertempuran para perempuan NU dalam memperebutkan suara di Jatim, Khofifah harus bekerja keras menguasai suara perempuan NU. 

Sosok Risma sebagai buldoser bagi suara perempuan di Jawa Timur di identifikasi sebagai "suara NU sendiri" karena bagaimanapun Risma masih memiliki 'trah NU" dalam dirinya. Inilah yang kemudian bisa mematikan langkah langkah Khofifah di awal. Sementara suara Dardak bisa dikatakan sedikit banyak bergantung pada kemampuan isterinya yang artis dan cantik rupawan itu untuk memikah perempuan perempuan di wilayah yang masih dinilai menggemari tontonan sinetron. 

Melihat peluang besar Gus Ipul dan Anas, maka Emil Dardak bisa dikatakan "mati muda" padahal ia punya potensi besar bila sedikit saja mau bersabar.  Jadi kekesalan PDIP soal Emil Dardak sebenarnya kekesalan yang patut disyukuri karena PDIP mampu melepas Emil Dardak dan mencari tokoh muda lain yang nilai loyalitasnya tinggi. Di Jawa Timur sebenarnya PDIP memiliki ukuran loyalitas yang jelas. 

Sosok itu ada pada Djarot yang namanya melambung di Pilkada DKI, walaupun kalah tapi sesungguhnya Djarot telah memenangkan integritasnya, ia setia pada perintah Partai dan sama sekali tidak menunjukkan politik kutu loncat, karena Djarot memang dibesarkan dalam pertarungan demi pertarungan politis PDIP, dari jaman ke jaman. Inilah yang seharusnya diwujudkan oleh PDIP sebagai Partai ideologis yang paham bagaimana tujuan tujuan Sukarno dimainkan dalam dialektika sejarah. 

Pilkada Jatim juga menjadi pembuka bagi pengaruh pemilu 2019. Ini pertarungan politik yang menarik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun