Diadakan "Situation Room" modern sebagai pengendali arus barang, sekaligus pengawas di lapangan. Situation Room inilah yang bisa dijadikan sebagai basis indikator adanya penyimpangan-penyimpangan di lapangan. Sekaligus mencatat perbaikan-perbaikan dan percepatan barang di ruang lingkup kerja Pelindo.
Selain pembenahan di internal perusahaan lewat kerja-kerja rasional, indikator untuk menilai Pelindo, jangan menggunakan data-data intelijen seperti yang dilakukan Menko Maritim Luhut, gunakanlah audit profesional dengan ukuran-ukuran yang rasional, dalam hal ini ukuran yang bisa dinilai adalah ukuran yang resmi dikeluarkan Kementerian BUMN. Biasakanlah menggunakan aturan SOP yang benar dalam melakukan indikator penilaian terhadap perusahaan BUMN bukan laporan yang sifatnya intelijen, bila kemudian laporan-laporan gelap yang jadi ukuran maka ini akan jadi preseden buruk bagi penilaian kinerja BUMN lainnya, sehingga akan memungkinkan intrik politik menjadi pegangan penentuan kebijakan bukan audit yang sifatnya terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan secara profesional.
Dari sinilah kita menganalisa masalah, dan melihat akibat yang terjadi dari kegaduhan yang sebenarnya tak perlu ini. Lalu menganatomi permasalahannya ada apa sebenarnya yang terjadi di Belawan, dan apa yang kemudian terjadi di baliknya.
A. Kenapa Menggunakan Laporan Intelijen yang pada akhirnya jadi konsumsi publik ?Â
Keanehan pertama dalam peristiwa Belawan adalah menggunakan "Laporan Intelijen" sebagai alat bukti adanya ketidakberesan di persoalan manajemen pelabuhan. Penggunaan laporan intelijen ini sesungguhnya bukan untuk melakukan tindakan tindakan perbaikan, tapi melakukan sebuah tindakan persepsi "dimana kemudian" semua mata tertuju pada Pelindo I dan Pelindo III. Namun kemudian berita-berita setelah mencuatnya isu "dwelling time" malah sasarannya hanya Pelindo I. Ada apa dengan Pelindo I ?, Padahal bila objektif permasalahan lamanya dwelling time pelabuhan justru terletak pada dua hal : Masalah Perijinan dan Masalah Kemauan Pengguna Jasa mengambil barangnya. Masalah Perijinan ini terkait dengan Bea Cukai, kenapa dalam isu "Dwelling Time" pihak Bea Cukai sama sekali tidak bersuara. Bagi publik yang awam maka persoalan dwelling time hanya jadi persoalan pengelola terminal pelabuhan dalam hal ini Pelindo, bukan lagi persoalan yang terkait dengan ijin keluarnya barang. Jadi kenapa Bea Cukai tidak dipertanyakan.Â
B. Indikator Kinerja Harus Dari Kementerian Terkait, Bukan Berdasarkan IsuÂ
Pelindo adalah salah satu BUMN besar, mereka sekarang punya posisi penting sebagai pengembang wilayah-wilayah pelabuhan dalam hal ini juga wilayah ikutan. Potensi utamanya selain terletak pada pengembangan jasa pelabuhan, juga secara tak langsung pada pengembangan "Port City", Pelindo I contohnya sedang mengembangkan Pelabuhan terbesar di Selat Malaka  yang bernama "Kuala Tanjung". Pelabuhan ini menjadi amat penting, bahkan apabila Thailand diasumsikan membuka tanah genting Kra, pelabuhan Kuala Tanjung tetap lancar, akan menjadi pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Bagian Barat. Karena porsi Selat Malaka akan dipegang Kuala Tanjung ketimbang Pelabuhan Tanjung Pelepas, Port Klang dan Pelabuhan Singapura
Adalah sangat rentan apabila kemudian keadaan diperkeruh dengan "laporan data gelap", seharusnya BUMN dan Kementerian Perhubungan-lah yang menggunakan jasa independen dalam melakukan audit profesional untuk melihat perkembangan kinerja pelabuhan, termasuk soal Dwelling Time. Lalu melihat persoalan Dwelling Time dari keseluruhan, dengan menyederhanakan seluruh unsur dalam kemudahan perijinan dari beberapa elemen:  Otoritas Pelabuhan, Syahbandar, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Karantina Kementerian Pertanian, BPOM, Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Imigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Industri dan lainnya, merancang sistem terpadu yang bisa mempersingkat waktu pemeriksaan. Kegiatan lainnya untuk memangkas dwelling time adalah peningkatan kapasitas alat bongkar muat, yang tentunya diiringi program perbaikan kinerja para operator. Pemerintah pun harus melakukan kerjasama dan  koordinasi dengan para pelaku ekspor-impor sehingga dapat melakukan sinergi yang baik.Â
Mereka harus duduk bersama dan merumuskan keadaan-keadaan, dalam memenuhi permintaan Presiden. Jelas ini akan menjadi sinyal yang baik dalam manajemen dwelling time, tapi bila kemudian menyalahkan satu pihak saja, dengan adanya tanda-tanda kepentingan tersembunyi yang tak terkait dengan itikad baik membenahi dwelling time, tentunya ini akan jadi preseden tak baik bagi perkembangan manajemen pelabuhan di Indonesia.Â
C. Usulan Swasta Tidak Dikeluarkan Atas Suatu Isu ataupun "Menari Diatas Gelombang", Masuknya Swasta Harusnya Terkait Dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan.Â
Profesionalitas BUMN yang jauh dari intervensi kepentingan bisnis, apalagi kepentingan bisnis yang terkait dengan pihak yang "berkuasa" sudah bukan jamannya lagi. Pihak pejabat yang menyuarakan satu proyek, atau menyuarakan suatu perbaikan harus memastikan dirinya jauh dari itikad "menggolkan" proyek terselubung dibalik "framing media" atau adanya indikasi jual pengaruh. Adanya usulan agar swasta yang masuk, harus dikaji lebih dalam dan dibawa ke diskusi publik yang terbuka. Sementara laporan-laporan perbaikan manajemen, revitalisasi "Manajemen Satu Atap" dan segala bentuk efisiensinya, harus didalami secara serius, tidak dengan laporan "mata-mata" tapi harus dengan audit berkala yang dijalankan dengan profesional. Indikator inilah yang kemudian dikeluarkan oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan dalam Kasus Pelindo, bila memang ada kekurangan dalam perbaikan kinerja.Â