Mohon tunggu...
Rakin  Ahsan Ramadhan
Rakin Ahsan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Oreo Supreme dan Ketenarannya

5 Januari 2022   16:17 Diperbarui: 5 Januari 2022   16:21 1674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan Supreme tampil dalam jenis huruf Futura Heavy Oblique putih, yang didasarkan pada seni ciptaan Barbara Kruger. Lewat perilaku berburu terus menerus itu, muncul cerita, mitos, legenda, dan desas-desus yang mengelilingi sejarah merek. Jebbia adalah pria pendiam, rendah hati dan memiliki daya pikat. Supreme melepas produk barunya di seluruh dunia lewat situs web-nya pada Kamis pagi untuk Kawasan Amerika dan Eropa. Dan hari Sabtu pagi, di Jepang.

Satu hal yang konsisten dilakukan oleh Supreme adalah melepas produk dalam jumlah terbatas. Strategi membatasi pelepasan produk ini menciptakan kelangkaan, scarcity, yang bagi konsumen pemburunya, mendorong munculnya perasaan penasaran. Perpaduan scarcity dan curiosity sering jadi penjelas, adanya produk-produk berharga mahal, namun jadi buruan pelanggannya. Nampaknya itulah alasan orang sangat setia pada brand yang sekilas nampak sederhana ini, namun kaya cerita di baliknya.

Fenomena Oreo Supreme yang mampu menciptakan ilusi produk yang bernilai tinggi dan layak diburu ini, dalam penjelasan Manuel Castells, 1996, dalam The Rise of The Network Society, dilambungkan oleh paradigma informasional. Ini terjadi manakala sebuah produk memiliki nilai, bukan kandungan bahan di dalamnya

Pada Oreo Supreme maupun produk-produk branded lainnya, seringkali konsumen bukan mengkonsumsi kandungan dasar produk, tapi turut berada dalam informasi yang dipertukarkan jejaring. Kenikmatan mengkonsumsi yang diperoleh, adalah kenikmatan ada dalam jejaring, menjadi bagian dari yang lain.

Maka, haruskah kelompok muda membelanjakan penghasilan yang diperolehnya rupiah demi rupiah, untuk produk yang nilainya dibangun oleh ilusinya sendiri ? Itu pun harus ditebus dengan harga kelewat mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun