Mohon tunggu...
Rakhmat Basuki
Rakhmat Basuki Mohon Tunggu... -

Warga Negara Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Statistik, Apakah Alat untuk Berbohong?

16 Agustus 2018   15:41 Diperbarui: 26 September 2020   11:59 4915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Darrel Huff pernah menulis sebuah buku yang cukup fenomenal : How to Lie With Statistics  --bagaimana berbohong dengan statistik-- yang pertama kali terbit pada tahun1954 dan direvisi pada tahun 1973. Melalui buku ini, Huff menunjukkan bahwa statistik bisa-- atau bahkan sering kali-- menjadi alat berbohong kepada publik yang sangat efektif. Seorang ilmuwan yang jago statistik ini menunjukkan berbagai peluang yang bisa diambil untuk melakukan kebohongan publik.

Senada dengah Huff, Benjamin Desraeli (1804-1881) bahkan menyatakan dengan lebih sinis : di dunia ini cuma ada tiga macam kebohongan : lies, damned lies, dan statistic (bohong, ngibul, dan statistik). Bagaimana bisa, sehingga seorang ahli dari abad ke-19 sudah memberikan julukan seperti itu ?

Simpson Paradoks

Salah satu fenomena dalam statistik yang sering "menipu" adalah fenomena yang disebut dengan simpson paradoks. Fenomena ini pertama kali diketahui oleh Karl Pearson pada tahun 1899, menyangkut pengamatan mengganggu yaitu adanya hubungan statistik antara dua variabel yang hasilnya terbalik dengan memasukkan faktor/variabel tambahan dalam analisis. Sederhananya, sebuah "kesimpulan" bisa berubah menjadi sebaliknya ketika ditambahkan faktor/variabel lain dalam melakukan analisis.

Suatu contoh kasus klasik yang menunjukkan fenomena simpson paradoks terjadi pada tahun 1973, ketika Universitas di California, Berkeley dianggap melakukan bias jender pada saat pendaftaran pascasarjana. 

Dari data pendaftaran, data keseluruhan menunjukkan pelamar laki-laki lebih berpeluang untuk diterima (44%). Hal ini menimbulkan "dugaan" atau bahkan "kesimpulan" dari sebagian orang bahwa  Berkeley tidak adil dan menomorduakan pendaftar perempuan (Lihat tabel 1).

Tabel 1
Tabel 1
Namun, saat dilakukan studi yang lebih mendalam dengan menambahkan satu faktor/variabel yaitu departemen, terungkap fakta bahwa tidak benar Universitas Berkeley bias jender terhadap pelamar perempuan. 

Tetapi faktanya bahwa pelamar perempuan cenderung melamar pada departemen yang lebih kompetitif/ketat dibandingkan laki-laki sehingga peluang untuk diterima semakin kecil. Bahkan, pada beberapa depertemen justru lebih cenderung untuk menerima pendaftar perempuan. (Lihat tabel 2)

Tabel 2
Tabel 2
Kedua tabel di atas sama-sama menunjukkan fakta : prosentase pendaftar yang diterima di Berkeley; dan ini adalah kebenaran. Namun demikian "kesimpulan" yang bisa diambil dari kedua tabel di atas justru saling bertolak belakang. 

Inilah seninya statistik. Seperti disampaikan Huff diawal bahwa peluang melakukan kebohongan itu terbuka. Kalau ingin menggiring opini publik bahwa Berkeley telah melakukan bias jender, maka eksposlah data pada tabel pertama. Tetapi kalau ingin lebih fair tampilkan tabel kedua atau bahkan keduanya.

Apakah statistik berbohong ?

Debat Kandidat kepala daerah

Menyaksikan debat kandidat kepala daerah di berbagai tempat menyisakan kegelian tersendiri. Seorang incumbent biasanya akan menyajikan statistik "keberhasilan" ataupun "prestasi" yang diraih olehnya maupun oleh wilayah yang dipimpinnya. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat melek huruf yang makin tinggi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terus meningkat, inflasi yang rendah dan berbagai indikator lain yang menunjukan prestasinya. 

Namun dengan entengnya, lawan politiknya menyangkal dengan menyajikan statistik lain yang justru menunjukkan "kegagalan" dari sang incumbent  : angka kemiskinan yang meningkat, angka pengangguran yang naik, angka kriminalitas yang juga meningkat dan sebagainya. Siapa yang benar ? Siapa yang bohong ?

Sang incumbent tentunya benar dengan menyampaikan statistik di atas; dan tentunya lawan politiknya pun tidak berbohong ketika menyajikan statistik yang lainnya, karena angka-angka yang disajikan kedua kandidat tersebut adalah angka resmi yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Yang menjadi "korban" adalah mereka yang menjadi bingung dengan suguhan tersebut. Sebenarnya daerah tersebut maju atau mundur pembangunannya ? Sang incumbent gagal atau berhasil dalam memajukan daerahnya ?

Ibarat dua orang yang ingin menentukan kondisi kesehatan seseorang dengan berbekal pengetahuan dan datanya masing-masing. Satu orang menyatakan sehat karena berat badan seseorang tersebut naik dibanding tahun lalu dan suhu tubuhnya normal. Adapun yang lainnya menyatakan sakit karena tekanan darahnya tinggi dan wajahnya pucat. 

Ternyata ketika dilakukan general check up dan pemeriksaan lain oleh tim medis, kondisi seseorang tersebut dinyatakan sehat. Hanya kurang tidur !! Atau mungkin sebaliknya tim medis justru menyatakan bahwa ternyata yang bersangkutan mengidap kanker ganas tapi masih stadium awal yang tidak diketahui olah kedua orang tersebut.

Apakah statistik berbohong ?

Hasil Survei dan Polling

Metode untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang sesuatu  bisa menggunakan kedua metode ini : survei dan polling. Kedua metode ini sudah sama-sama populer di Indonesia. Pada dasarnya kedua metode ini memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencari gambaran dari sebuah populasi. Bahkan pada sebagian orang kedua metode ini dianggap sama walaupun sebenarnya tidak demikian. 

Polling umumnya hanya menanyakan tentang satu permasalahan dengan menyediakan beberapa alternatif jawaban (multiple choice) sedangkan survei umumnya menanyakan lebih dari satu pertanyaan. Kompleksitas jawaban yang diinginkan dalam sebuah polling umumnya sederhana sedangkan dalam survei lebih kompleks.

Survei dan polling ditengarai oleh sebagian kalangan juga merupakan sarana pembohongan publik. Kok bisa ?

Salah satu cara untuk meyakinkan orang lain terkait pendapat, cara pandang, menentukan pilihan dan sebagainya adalah dengan menyajikan data hasil survei atau polling. Dengan hasil survei atau polling yang sejalan atau mendukung pendapat, cara pandang, pilihan dan sebagainya tersebut tentunya akan menjadikan orang yang awalnya tidak percaya menjadi percaya atau ragu. Orang yang masih ragu menjadi percaya. 

Dengan demikian pendirinnya akan berubah mengikuti apa yang diinginkan oleh si penyaji hasil survei/polling tersebut. Survei/polling semacam ini bisa disebut sebagai penelitian anggapan umum (Common sense research). Yakni mengarahkan hasil penelitian sesuai keinginan untuk suatu kepentingan (menggiring opini publik).

Tentunya tidak keliru manakala kita berpendapat dan kemudian untuk memperkuat pendapat kita, lalu kita tampilkan hasil survei atau polling yang dilakukan sendiri atau dilakukan pihak lain yang hasilnya sejalan dan mendukung pendapat kita. 

Namun yang menjadi kurang bijaksana adalah manakala dengan sengaja menyembunyikan atau menutupi metodologi dari survei yang dijadikan rujukan tersebut. Metodologi merupakan ruh dari sebuah survei/polling. Metodologi yang tepat akan mendukung diperolehnya statistik yang tepat pula.

Contoh kasus, seorang penulis  di media ingin meyakinkan kepada pembacanya betapa minuman keras sebenarnya banyak mudharat dan penentangnya. Karena itu ditampilkanlah dalam artikelnya hasil polling di sebuah website yang menunjukkan bahwa 96 % responden yang ikut polling menentang minuman keras di indonesia. 

Maka kemudian muncul tulisan tandingan yang mengkonfrontir pendapat tersebut dengan juga menyajikan hasil polling di website yang lain yang menunjukkan justru ada 95% responden peserta polling mendukung minuman keras di indonesia. Siapa yang benar ? Siapa yang bohong ?

Sebagai pembaca yang cerdas dan agar tidak merasa dibohongi, seharusnya kita tidak lantas begitu saja percaya. Kita cari tahu kedua website tersebut. Metodologi seperti apa yang dipakai pada kedua website tersebut. 

Ternyata, penulis pertama merujuk hasil polling pada website bernuansa "agamis" yang tentunya pengunjungnya umumnya menentang minuman keras. Adapun penulis kedua merujuk pada website bernuansa "gaul" yang sebagian besarnya mendukung minuman keras. Kedua penulis terlalu sederhana dan terlalu mudah menjeneralisir hasil polling menjadi gambaran yang mewakili masyarakat indonesia.

Apakah statistik berbohong ?

Statistik hanyalah sebuah alat

Statistic is just a tool : statistik hanyalah sebuah alat yang bisa digunakan oleh siapa saja untuk tujuan apa saja; tergantung si pemakainya. Ibarat sebuah pisau ia bisa menjadi alat untuk memasak di dapur ketika digunakan oleh seorang ibu rumah tangga, namuan ia bisa menjadi senjata untuk melakukan kejahatan ketika digunakan oleh seorang perampok.

Statistik menjadi sangat penting dalam merumuskan kebijakan, menentukan keputusan serta mengevaluasi kegiatan. Dia menjadi alat bantu dalam merumuskan dan menentukan arah pembangunan. 

Dia menjadi alat ukur bagi tingkat keberhasilan sebuah daerah, institusi, organisasi maupun individu dalam menjalankan aktivitasnya. Namun disisi lain dia bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan pembohongan publik.

Di dalam bukunya, Huff telah menunjukkan berbagai peluang melakukan kebohongan. Namun demikian, peluang tersebut diambil atau tidak bergantung pada itikad masing-masing orang. Yang menjadi permasalahan adalah ketika statistik menjadi "bohong" karena peneliti tidak cermat menganalisis. Peneliti gegabah mengambil kesimpulan. Tidak mencoba menyelami lebih jauh, apa yang ada di balik fakta. Atau bisa jadi memang itulah yang menjadi tujuan dia.

 Akhirnya, menggunakan data statistik perlu cerdas. Melek statistik menjadi penting. Jangan sampai karena ketidaktahuan kita, karena kedangkalan analisa kita, kita dibohongi atau bahkan menjadikan orang lain ikut dibohongi oleh statistik. 

Wallahu'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun