Mohon tunggu...
RAKHMAT ZAENURI PRIBADI
RAKHMAT ZAENURI PRIBADI Mohon Tunggu... Hoteliers - Pegawai Hotel

Saya bekerja sebagai pegawai hotel. Saya pernah juga bekerja di kapal pesiar sebelumnya. Hobi saya menulis, oleh karenanya saya membuat akun disini. Selain menulis disini saya juga berprofesu sebagai penulis konten lepas. Selain itu, saya juga memiliki hobi menyelam, naik gunung, berenang, sepak bola, nonton film dan bermain musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tunjukkan pada Kami, Bagaimana Cara Belajar?

6 Desember 2022   22:03 Diperbarui: 6 Desember 2022   22:05 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepak bola merupakan olahraga yang sangat dekat dengan rakyat Indonesia. Sepemahaman saya, hampir di setiap desa terutama di Jawa memiliki lapangan sepak bola. Meskipun tidak setiap desa memiliki tim sepak bola yang aktif namun keberadaan lapangan sepak bola umumnya tetap eksis. Tak jarang ia digunakan untuk kepentingan lain seperti menjemur gabah (padi), menggelar pertunjukan seni budaya, menggelar pertunjukan musik, dan sebagainya. Olah raga nomor satu sejagad ini juga selalu menjadi daya tarik bagi warga sekitar ketika ada yang memainkannya atau ada turnamen. Bahkan tidak jarang warga yang menjadi penonton memiliki rasa fanatisme terhadap tim sepak bola yang ditontonnya.

Saking fanatiknya, untuk urusan turnamen sepak bola level RT saja antar warga bisa rela untuk menghabiskan energi baku hantam satu sama lain. Begitu pun untuk level di atasnya. Terlebih jika sudah bicara level tim kebanggaan antar kota, tim sepak bola seperti membawa marwah kotanya sehingga haram seorang manusia pun menghinanya. Jika ada yang berani melontarkan ucapan dengan nada merendahkan atau penghinaan maka sekumpulan suporter bisa menjelma menjadi sekumpulan atlet bela diri yang siap melindungi kesucian timnya.

Energi Tak Terkendali

Saya pribadi sungguh kagum dengan pergerakan teman-teman suporter dalam menunjukan kecintaannya pada klubnya masing-masing. Setiap suporter dapat mengambil peran sesuai dengan kapasitasnya, misalnya bagi yang jago gambar, ia akan membuat grafiti-grafiti yang indah pada tembok-tembok kosong atau pintu-pintu toko dikotanya. Bagi yang jago desain, jago main bass drum, jago bikin chant, dan sebagainya selalu memiliki jalan kontribusi apiknya sendiri.

Energi suporter kepada klubnya seperti tidak ada habisnya. Ketika tim kesayangannya bertanding, izin kerja atau bahkan bolos sekolah bisa saja dilakukan suporter demi bisa hadir mendukung tim kebanggaannya di stadion. Lebih ekstrem lagi, suporter bahkan rela untuk menghabiskan waktu puluhan jam untuk bisa datang ketika timnya bermain tandang. Bahkan, tak sedikit persoalan kerusuhan suporter pada saat laga-laga panas terjadi. Artinya, suporter memiliki energi yang sangat besar untuk bisa berbuat sesuatu. Perihal kerusuhannya, memang tak bisa dibenarkan tetapi api energinya itu potensi kemaslahatan yang luar biasa.

Diagnosa Masalah

Sudah banyak catatan korban dari peristiwa kerusuhan antar suporter sejak gelaran Liga Indonesia bergulir. Tak sedikit pula catatan nyawa melayang akibat dari kecerobohan berbagai pihak. Ironisnya, kabar duka tersebut dipuncaki dengan meninggalnya ratusan suporter Arema Malang yang terjadi pasca laga kontra Persebaya di Kanjuruhan pada tanggal 1 Oktober 2022.

Jumlah korban sebesar itu nyatanya tak membuat kita berbenah, kita punya PR besar untuk urusan manajemen. Sebetulnya, suporter sebagai tiang penyangga aktifitas sepak bola nasional yang memiliki energi begitu besar sangat berpotensi menjadi agen-agen perubahan. Tetapi persoalannya tak sesederhana suporter dan aparat atau rivalitas dan peringkat klub. Persoalannya jauh lebih kompleks dari itu semua. Sayangnya, kita seperti bangsa yang enggan belajar. Kita seperti bangsa yang hanya paham soal uang. Kita seperti bangsa yang begitu dangkal memandang kehidupan. Kita jelas keliru mendiagnosa masalah sosial ini.

Jika diagnosa masalahnya tak jelas, bagaimana solusinya bisa ditemukan? Jika solusinya tidak dapat ditemukan, bagaimana suatu persoalan dapat diselesaikan?

Atau barangkali hanya ketidaktahuan yang kita miliki. Oleh sebabnya, Tuhan, kami mohon, tunjukkan pada kami, bagaimana cara belajar?


Kediri, 6.12.22

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun