"Masak gitu aja ga bisa? Sini aku bantu..."
"Dari tadi baru dapat segini? Aku bantu biar cepat selesai ya..."Â
Sering kan kita mendengar kalimat seperti itu? Seseorang yang berniat baik ketika melihat kita sedang dalam kesulitan. Sebenarnya memang kita dalam posisi membutuhkan bantuan, namun kadang kalimat pembukanya membuat kita kurang nyaman.
Memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan maksud baik terkadang membutuhkan kejelian dalam membaca situasi. Tidak jarang karena salah memilih kata yang tepat membuat orang tersinggung. Dan akhirnya kita pun menjadi apatis dengan niat baik semula. Padahal niat awal kita untuk menolong tulus.
Ada satu adegan dalam salah satu drama Korea yang saya ingat.
Seorang kakek yang sudah lanjut usia berjalan tertatih dengan bantuan tongkat dan sedang menyeberang jalan. Beberapa orang merasa iba dan berniat membantu si kakek untuk berjalan.
Mereka menawarkan bantuan dengan menggandeng tangan si kakek. Namun si kakek menolak dibantu dan berkata bahwa dia baik-baik saja.
Lalu lewatlah seorang gadis dan melihat kejadian tersebut. Dia memperhatikan sekilas sambil matanya tak lepas dari handphone di tangannya. Tapi apa yang dilakukannya? Dia memperlambat langkahnya menyamai langkah kaki si kakek berjalan sampai ke seberang.
Dia  seolah tidak peduli dengan terus memainkan handphone namun sambil berjalan dia terus melindungi kakek tersebut. Sampai di seberang, si kakek berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada gadis tersebut dengan raut wajah bahagia.
Apa yang dapat kita baca dari peristiwa tersebut? Bahwa tanpa berbicara pun seseorang akan paham bahwa dirinya sedang ditolong. Perlakuan yang sangat manis ditunjukkan oleh seorang anak muda kepada orang tua tanpa memperlihatkan bahwa dengan usianya yang sudah lanjut dia pantas menerima bantuan.
Secara naluri manusia selalu ingin merasa berharga dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Beberapa orang memilih diam demi menjaga harga diri dan kehormatan walaupun dia dalam keadaan menderita dan butuh pertolongan.
Maka di saat seperti itulah kepekaan kita kepada lingkungan diuji. Bagaimana kita membaca keberadaan seseorang dengan segala keadaannya.Â
Peka adalah bagian dari kecerdasan emosi yang bisa dilatih. Seseorang yang dicap tidak peka tidak serta merta akan menjadi pribadi yang cuek selamanya. Dengan terus berusaha lebih berempati dengan lingkungan akan menjadi sarana belajar yang baik mengasah kepekaan.
Bahasa tubuh seseorang adalah tanda yang bisa menjadi kunci kita dalam membaca keadaan. Seseorang yang sedang mengalami kesulitan bisa jelas terlihat dari mimik wajah dan suasana hati yang terbaca.
Bagaimana cara kita menawarkan bantuan?
Kita dapat memilih kata-kata yang tidak menghakimi dan cenderung menunjukkan kelemahan orang yang akan kita bantu. Tidak usah kita mempertegas keadaannya yang sedang susah payah berjuang. Tanpa kita bicara pun dia sudah merasa lemah. Tidak perlu kita menambah beban dengan kata-kata yang akan menyebabkan dia malu dan semakin terpuruk.
Bantuan yang kita tawarkan dengan tulus tidak akan dapat diterima dengan baik jika dia merasa bahwa kita membantu karena kasihan. Memang sulit untuk membedakan perasaan kasihan atau karena memang kita berempati dan ingin menolong.Â
Tetapi dengan tidak membuat mereka merasa bahwa mereka pantas dikasihani sudah cukup membantu.
Tetap ramah dan tersenyum, tahanlah tatapan iba yang berlebihan. Tidak ada orang yang suka dipandang dengan tatapan seolah-olah dia orang yang paling menderita sedunia. Bagaimanapun keadaannya, perlakukan dengan wajar walaupun dalam hati kita sangat merasa kasihan.
Mengapa kita harus menjaga perasaan orang yang kita bantu? Pertanyaan ini kita jawab dengan mencoba kita kembalikan kepada diri sendiri. Bagaimana perasaan kita di saat sangat membutuhkan pertolongan orang lain? Kita pasti berharap mendapat pertolongan tanpa kita merasa harga diri dan kehormatan kita hilang.
Saya pernah melihat salah satu konten di media sosial yang mampu membuat gerimis di hati saya. Seorang bapak penyapu jalan yang menerima sedekah nasi bungkus dari seseorang.
Setelah diterima, dia bertanya " Ini ngga difoto Bu?"
"Oh tidak Pak.. Silakan dinikmati buat sarapan. Mengapa Bapak bertanya begitu?"tanya Ibu pemberi sedekah.
"Biasanya kalau saya mendapat sedekah terus difoto-foto. Awalnya saya merasa malu Bu, tapi lama-lama ya sudahlah... Saya memang membutuhkan bantuan ini."
Betapa kebutuhan telah membuat seseorang mengabaikan harga diri dan kehormatan sehingga terpaksa menerima bantuan walaupun dengan cara-cara yang melukai hatinya.Â
Dalam suatu hubungan sosial, kita tidak dapat memuaskan semua orang. Namun kita perlu peka, bahwa semua manusia ingin diperlakukan seperti halnya dia sendiri memperlakukan orang lain.Â
Kalau kita selalu berusaha tetap tegar dalam situasi apapun, maka begitupun orang lain. Maka tolonglah orang yang membutuhkan tanpa dia merasa harga diri dan kehormatannya terampas melalui pertolongan yang kita berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H