Membaca berita di berbagai media tentang kejadian penyerangan di Papua membuat hati saya sedih. Selain karena itu jelas bukan berita gembira, saya memiliki keterikatan emosional dengan tanah Papua.
Sebagai seorang abdi negara, saya sudah disumpah untuk bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Baik di kota besar, kota kecil atau yang belum bisa disebut kota sekalipun. Dan itu terjadi ketika pada akhir tahun 2000 saya mendapat penugasan di kota Jayapura.
Tugas yang seketika mengguncangkan hati saya. Sebuah reaksi normal semua orang saat tiba-tiba harus pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Kebetulan saya asli Jawa dan belum pernah bertugas keluar dari Pulau Jawa.
Sebenarnya selain karena jarak yang tak terbayangkan, saat itu di Papua masih terjadi konflik bersenjata. Kota Jayapura pun tidak luput dari keadaan mencekam. Hal itulah yang membuat saya beberapa kali memundurkan jadwal keberangkatan karena situasi yang belum kondusif.
Saya tidak akan membahas konflik yang sarat dengan isu politik. Tapi pengalaman saya sebagai pendatang yang 'terpaksa' harus berada di tengah situasi yang kurang bersahabat.
Saya sudah menyiapkan hati saya untuk segala kemungkinan terburuk. Saya menghubungi seorang teman dan dijemput di bandara. Jangan dibayangkan bandara pada waktu itu seperti sekarang yang megah, indah dan rapi.Â
Tahun 2000 bandara Sentani masih sangat kecil dan sederhana, belum ada pengaturan yang jelas antara kedatangan dan keberangkatan. Jadi saya cukup kesulitan untuk bisa bertemu dengan teman yang menjemput.
Saya hanya membawa 1 koper besar. Dokumen penting tidak ada yang saya bawa. Karena sudah diwanti-wanti oleh teman saya itu, "Jangan bawa barang banyak. Biar kalau ada apa-apa kita bisa melarikan diri dengan mudah." Kata-kata yang bagi saya saat itu sungguh menyeramkan.
Dalam perjalanan menuju kantor saya sangat menikmati kota Jayapura. Kota yang indah dikelilingi gunung dan tepat di pinggir pantai. Walaupun udara cukup panas di sana. Tidak nampak suasana mencekam seperti yang saya lihat di televisi. Tahun 2000 televisi masih menjadi media utama untuk mencari berita aktual.
Hal pertama yang membuat saya mengkeret adalah ketika saya menginap di mes kantor sebelum mendapat rumah dinas. Saya melihat berbagai macam senjata ada di kolong tempat tidur. Tombak, pedang, pisau, panah dan entah apa lagi. Kata teman saya, buat jaga-jaga kalau ada apa-apa. Duh...
Cerita tentang beberapa kejadian penyerangan juga sempat membuat nyali saya ciut. Kompleks tempat kami tinggal pun dijaga oleh bapak-bapak tentara yang secara berkala keliling mengecek keadaan kami. Jadi lama-lama saya terbiasa melihat kehadiran mereka dengan senjata lengkapnya.
Saat itu kebetulan memasuki bulan Ramadan. Namun saya melaksanakan ibadah di bulan puasa dengan nuansa yang sungguh berbeda. Tidak ada suara azan dari masjid dekat rumah demi keamanan. Jadi kami yang hendak sholat tarawih janjian jam sekian berangkat secara berkelompok karena kami tidak diperkenankan berangkat ke masjid sendiri-sendiri.
Begitupun waktu hari raya Idul Fitri. Kami melaksanakan sholat Ied di lapangan dengan penjagaan tentara lengkap beserta tank yang siap di dekat kami. Sungguh bukan suasana yang saya idamkan di saat saya jauh dari rumah.
Suasana kantor saya biasa saja. Kawan-kawan saya di kantor yang sebagian besar penduduk asli sangat menerima saya. Konflik yang sedang terjadi tidak membuat kami menjadi musuh. Hubungan pertemanan kami normal tanpa menyinggung perkembangan situasi. Kami menghindari hal-hal yang bersifat sensitif sebagai bahan pembicaraan.
Bahkan ketika situasi memanas, mereka melindungi kami para pendatang. Ada satu saat situasi sangat genting. Berangkat kantor pun kami berjaga-jaga dengan senjata di mobil. Tentara dan polisi yang berjaga banyak sekali jumlahnya dan 3 kapal perang sudah bersandar di Pangkalan Utama Angkatan Laut Jayapura.
Pada malam hari kami mendengar sudah ada pertempuran di kota Jayapura. Suara stom dari kapal laut berulangkali kami dengar.Â
Kami para penghuni komplek rumah dinas sudah berkumpul dan siap-siap jika terjadi sesuatu kami berangkat ke bandara.
Saat itu, justru teman kantor yang penduduk asli terus mengabarkan kepada kami tentang perkembangan situasi di kota. Kebetulan komplek rumah dinas kami di atas gunung. Kami diminta tenang dan tetap di rumah. Akhirnya sampai pagi kami menunggu syukurlah situasi tidak mengharuskan kami untuk mengungsi.
Situasi yang mulai kondusif sangat kami syukuri. Entah apapun permasalahan yang menjadi sumber konflik, rakyat lah yang paling menderita. Hidup dalam kecemasan dan kehidupan keseharian yang tidak normal.
Dari serangkaian kejadian mencekam yang pernah saya alami, saya banyak mengambil pelajaran hidup. Bahwa sejatinya semua orang sama. Kita bisa diterima oleh orang lain apabila kita baik dan memperlakukan mereka sama seperti kita ingin diperlakukan.
Dan selalu berpeganglah pada pepatah "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Hormatilah adat istiadat atau aturan yang berlaku dimanapun kita tinggal.
Mudah-mudahan konflik dimanapun segera berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H