BPR atau Bank Perkreditan Rakyat dikenalkan pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia pada akhir tahun 1977, ketika BRI mulai menjalankan tugasnya sebagai bank pembina lumbung desa, bank pasar, bank desa, dan bank-bank sejenis lainnya. Pada masa pembinaanya oleh BRI, semua bank tersebut diberi nama BPR.
Dalam perkembangannya ada BPR yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, yang selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tgl 12 Mei 1999 tentang BPR Berdasar Prinsip Syariah yang dalam hal ini secara teknis BPR Syariah adalah seperti BPR Konvensional yang jalannya usaha menggunakan prinsip-prinsip syariah terutama dalam hal bagi hasil.
BPR Syariah yang selanjutnya dikenal khalayak adalah sebagai BPRS kemudian menjadi salah satu lembaga keuangan perbankan syariah yang kemudian didefinisikan sebagai Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga perbankan syariah dirasa cukup tinggi. Keberadaan BPRS yang dimaksudkan memang untuk dapat memberikan layanan perbankan secara cepat, mudah, dan sederhana kepada masyarakat khususnya pengusaha menengah, kecil, mikro baik di pedesaan maupun di perkotaan.Â
BPRS dituntut agar dalam melayani masyarakat di sektor keuangan agar selalu dapat mengemban amanah dari para pemilik dana dengan cara menyalurkannya untuk usaha produktif dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk itu BPRS harus selalu memegang prinsip kehati-hatian serta mampu menerapkan prinsip syariah secara konsisten, sehingga harapannya tercipta BPRS yang sehat yang mampu memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
BPRS yang seharusnya dapat berkembang dengan baik dengan harapan masyarakat terhadap layanannya, dewasa ini mengalami tantangan yang berarti. Dalam dunia bisnis, risiko kebangkrutan sangat penting. Prediksi yang tepat sangat berharga bagi perusahaan untuk mengevaluasi risiko atau mencegah kebangkrutan. Dalam beberapa kasus, masalah kegagalan bank telah diakui sebagai salah satu masalah penting di tingkat internasional.Â
Bank for Internationa/ Settlement (BIS) membuat sejumlah peraturan yang mengatur perbankan. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang telah mengikuti rekomendasi dan menerapkan pedoman tersebut; negara ini bahkan mengeluarkan peraturan yang mengatur pelaksanaan pengawasan pada industri perbankan. Namun demikian, masih banyak bank yang berguguran atau bangkrut, terutama Bank Perekonomian Rakyat (BPR).
BPRS saat ini sedang dalam monitor yang ketat dari LPS maupun OJK dikarenakan dalam beberapa tahun ini 6-7 BPR/ BPRS dilikuidasi. Tren kebangkrutan BPRS sesungguhnya juga terjadi di BPR Konvensional. Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Purbaya Yudhi Sadewa buka-bukaan soal penyebab banyaknya bank yang bangkrut.Â
Sepanjang dua bulan pertama 2024, ada sebanyak enam BPR jatuh dengan salah satunya BPRS. Purbaya menyampaikan bahwasanya krisis global tidak berhubungan dengan banyaknya BPR yang bangkrut. Dari kasus kebangkrutan yang terjadi, ada kesamaan penyebab yang menjadikan BPR dan BPRS ini mengalami kebangkrutan.
Beberapa analisa kenapa BPR maupun BPRS saat ini mengalami kondisi seperti saat ini garis besarnya berdasar dari analisa Dewan Komisioner LPS adalah sebagai berikut:
- Rusaknya manajemen dan mengalami permasalahan mendasar, mulai dari tindak pidana perbankan seperti kecurangan atau fraud. Miss manajemen ini dikarenakan dari kesalahan dari jajaran pimpinan melakukan kecurangan, yang mengindikasikan dana-dana yang terhimpun dari masyarakat digunakan untuk kepentingan segelintir jajaran pimpinan. Mereka tidak memikirkan strategi pemanfaatan dana-dana tersebut untuk membuat bank untung melainkan bagaimana memanfaatkan dana-dana masyarakat untuk keuntungan dirinya sendiri.
- Tata kelola atau governance
- Manajemen resiko yang lemah
Bila tren kebangkrutan BPR dan BPRS ini berlanjut, akibat yang terjadi semakin banyaknya dicabutnya izin usaha BPR/ BPRS sehingga akibat lebih lanjutnya menyebabkan gap saving-investment yang semakin lebar dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) semakin sulit untuk mendapatkan pinjaman.Â
Hal ini berdampak pada stagnasi pertumbuhan perekonomian lokal, yang mengakibatkan peningkatan kesejahteraan UMKM, penyerapan tenaga kerja, dan produktivitas terganggu serta meningkatnya biaya penyelamatan yang dilakukan oleh LPS.
Regulator dalam hal ini LPS dan OJK harus terus melakukan inovasi-inovasi strategis untuk mengurangi potensi likuidasi BPR dan BPRS di masa mendatang karena memandang begitu pentingnya fungsi BPR-BPRS dalam pembangunan sektor ekonomi di Indonesia ini seperti yang telah dijelaskan diatas.Â
OJK yang belum lama kemarin di bulan Januari 2024 melakukan revisit roadmap BPR yang diharapkan dalam waktu dekat launching. OJK juga harus terus melakukan perbaikan tata kelola pengawasan ke BPR-BPRS atas banyaknya kasus fraud yang terjadi. Fungsi pengawasan ini untuk memastikan operasional BPR-BPRS dapat dengan baik menerapkan fungsi kehati-hatian yang didukung infrastruktur teknologi informasi serta mendorong penerapan tata kelola bank yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H