Mohon tunggu...
Rakhmaditya Dewi Noorrizki
Rakhmaditya Dewi Noorrizki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengajar

Pencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Toxic Masculinity dan Peran Keluarga dalam Pembentukan Maskulinitas di Indonesia

7 November 2024   14:39 Diperbarui: 7 November 2024   14:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Maskulinitas kerap kali menjadi sorotan di berbagai kalangan karena nilai-nilai yang melekat padanya. Di Indonesia, seperti di berbagai belahan dunia lainnya, konsep maskulinitas masih banyak dikaitkan dengan norma-norma tradisional yang mendorong laki-laki untuk menekan emosi dan berperan dominan. 

Namun, dalam banyak kasus, konsep ini dapat berubah menjadi apa yang dikenal sebagai toxic masculinity, yaitu ketika nilai-nilai maskulinitas tradisional membawa dampak negatif, baik bagi individu itu sendiri maupun lingkungan sosial di sekitarnya. 

Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana toxic masculinity diturunkan dalam keluarga dan bagaimana peran lingkungan sosial turut berkontribusi dalam membentuk konsep maskulinitas di kalangan laki-laki muda Indonesia.

Pengertian Toxic Masculinity dan Implikasinya

Toxic masculinity mengacu pada internalisasi nilai-nilai maskulinitas yang ekstrem, seperti dominasi, kekerasan, dan penindasan emosi. Nilai-nilai ini tidak hanya menghambat perkembangan emosional, tetapi juga berpotensi menciptakan pola perilaku agresif dan membahayakan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

 Dalam konteks budaya Indonesia yang kental dengan norma sosial dan tradisi, konsep toxic masculinity dapat terinternalisasi sejak usia dini, terutama dalam lingkungan keluarga. Nilai-nilai seperti "laki-laki harus kuat", "jangan menangis", atau "laki-laki harus memimpin" sering kali diteruskan dari generasi ke generasi, menciptakan ekspektasi tertentu terhadap perilaku dan peran yang diharapkan dari seorang laki-laki.

Peran Keluarga dalam Transmisi Nilai Maskulinitas

Penelitian ini menemukan bahwa keluarga, khususnya orang tua, memainkan peran yang sangat dominan dalam menanamkan nilai-nilai maskulinitas kepada anak laki-laki. 

Dalam proses ini, ayah sering kali menjadi panutan dalam hal tanggung jawab, keberanian, dan kekuatan fisik, sementara ibu turut memperkuat nilai-nilai ini dengan mengarahkan anak-anak mereka pada perilaku yang dianggap sesuai bagi laki-laki. 

Keluarga menjadi lingkungan pertama di mana anak laki-laki mempelajari apa yang diharapkan dari mereka sebagai seorang pria, dan nilai-nilai ini cenderung melekat hingga dewasa.

Selain itu, peran keluarga besar, seperti kakek, nenek, paman, atau kerabat lain, juga berpengaruh dalam memperkenalkan norma maskulinitas. Misalnya, dalam beberapa keluarga yang masih memper

tahankan budaya patriarki, anak laki-laki diajarkan untuk menjadi pemimpin dan pelindung, sementara emosi dan kelembutan sering kali dianggap sebagai kelemahan. Di sinilah letak tantangan, karena ketika nilai-nilai ini diterima tanpa kritik, mereka dapat berubah menjadi pola toxic masculinity yang membatasi ekspresi emosi dan merugikan kesehatan mental.

Lingkungan Sosial dan Pendidikan sebagai Penguat atau Pelengkap

Lingkungan sosial dan pendidikan juga memainkan peran penting dalam pembentukan norma maskulinitas. Di sekolah, misalnya, interaksi dengan teman sebaya dapat memperkuat atau bahkan menantang nilai-nilai yang diajarkan di rumah. 

Dalam beberapa kasus, lingkungan sosial dapat menjadi penguat norma maskulinitas yang ekstrem, seperti penindasan terhadap teman yang menunjukkan kelemahan atau tidak sesuai dengan standar maskulinitas tradisional. 

Sebaliknya, beberapa teman dan guru dapat membuka ruang bagi pemahaman yang lebih inklusif, mendorong anak laki-laki untuk mengekspresikan emosi mereka dan memandang maskulinitas dengan cara yang lebih fleksibel.

Digitalisasi dan Tantangan Baru dalam Konsep Maskulinitas

Era digital membawa dimensi baru dalam transmisi nilai maskulinitas. Anak-anak dan remaja kini terpapar oleh berbagai representasi maskulinitas melalui media sosial, film, dan berita online yang menunjukkan perspektif berbeda. 

Akses ini memungkinkan mereka untuk melihat model maskulinitas yang lebih inklusif dan adaptif, yang mungkin tidak mereka dapatkan dari lingkungan keluarga tradisional. 

Di sisi lain, media digital juga dapat memperkuat stereotip maskulinitas melalui konten yang menekankan kekuatan fisik dan agresivitas sebagai standar maskulin.

Kesimpulan dan Implikasi bagi Generasi Mendatang

Penelitian ini menekankan bahwa konsep maskulinitas di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh norma-norma tradisional yang diteruskan melalui keluarga dan lingkungan sosial. 

Keluarga berperan penting sebagai agen pertama dalam pembentukan identitas maskulin pada anak laki-laki. Namun, di era digital ini, mereka juga berperan sebagai filter atau interpretator nilai, membantu anak memahami representasi maskulinitas yang mereka temui. 

Untuk itu, penting bagi keluarga, pendidik, dan masyarakat secara luas untuk mendukung konsep maskulinitas yang lebih sehat dan inklusif, membuka ruang bagi laki-laki untuk mengekspresikan diri secara bebas tanpa terikat oleh stereotip gender yang membatasi.

Dengan upaya bersama, generasi mendatang dapat mengembangkan identitas maskulin yang lebih sehat, kuat secara emosional, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun