Mohon tunggu...
Rakha Nurfauzi Abdillah
Rakha Nurfauzi Abdillah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta

Satu gagasan terlalu banyak untuk tidak diterjemahkan ke dalam sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Suporter di Eropa Tidak Sebaik yang Kalian Kira

14 Juli 2024   19:47 Diperbarui: 14 Juli 2024   20:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang tahu bahwa Eropa menjadi kiblatnya sepakbola. Semua hal yang berhubungan dengan sepakbola pastilah mengacu kepada perkembangan sepak bola di Eropa. Pengembangan talenta muda sejak di akademi, desain stadion dan kualitas rumput, teknologi pendukung pertandingan, bahkan jika kita berbicara suporter sepakbola, Eropa tetap menjadi acuan.

Suporter di Eropa terlihat tertib saat di stadion. Katakanlah suporter di Premier League, mereka terlihat tertib. Bahkan mereka terlihat rapi dengan pakaian khas acara formal.

Sayangnya itu semua hanya yang terlihat di media. Kita sebaiknya jangan terlalu "mengagung-agungkan" mereka yang terlihat tertib di media. Setiap ada kerusuhan yang melibatkan suporter sepak bola di dalam negeri, mayoritas dari kita akan mengatakan "lihat noh suporter di Eropa, mereka tertib. Gak suka rusuh". Hei, percayalah mereka tidak sebaik yang kalian kira. Mereka sama saja!

Saya ambil kasus kerusuhan suporter yang terjadi di gelaran Piala Eropa 2024. Berdasarkan penemuan saya di media sosial, hingga esai ini terbit setidaknya ada lima kerusuhan antarsuporter selama gelaran Piala Eropa tahun ini. Pertama, pada Minggu (16/06/2024) terjadi kerusuhan antara suporter Inggris dan Albania dengan suporter Serbia di sebuah bar di kota Gelsenkirchen, Jerman. 

Kerusuhan di Gelsenkirche mengakibatkan sejumlah suporter yang terlibat mengalami luka-luka. Kedua, pada hari Selasa (18/06/2024) di Signal Iduna Park kerusuhan antara suporter Georgia dengan Turki pecah. Ketiga, sekelompok suporter Turki berbuat onar di jalanan Belanda setelah Turki takluk dari Belanda pada babak quarter final Piala Eropa (07/07/2024). Keempat, suporter Belanda terlibat kerusuhan dengan fans Inggris di sebuah bar pada tanggal 10 Juli 2024. Dan yang kelima, kerusuhan antara suporter tuan rumah dengan suporter Inggris pada 5 Juli 2024 lalu.

Kerusuhan antarsuporter yang terjadi di gelaran Piala Eropa menggambarkan bahwa mereka pun sama saja dengan suporter sepak bola di dalam negeri. Bahkan saya bisa katakan, perilaku suporter di Indonesia yang sering berujung pada sebuah kerusuhan terbentuk karena mereka "mencontoh" suporter di Eropa sebagai kiblatnya.

Di dalam dunia persuporteran sepak bola terdapat berbagai kultur dan semuanya berkembang di Eropa. Sebut saja hooligan dan ultras, dua kultur suporter yang dikanal militan dan kerap terlibat dalam kerusuhan. Beberapa sumber yang saya baca, bahkan menyebutkan bahwa hooligan datang ke stadion bukan untuk menonton pertandingan, tapi untuk menyerang kelompok suporter away atau bahkan polisi. Sebab itulah kelompok suporter yang kini juga sudah menjadi kultur yang mulanya berkembang di Inggris dijuluki sebagai trouble maker.

Ultras, kultur suporter sepak bola yang berkembang di Italia memang dominan dengan aksi-aksi kreatif di dalam stadion. Tetapi bukan berarti mereka tidak suka kerusuhan. Di beberapa kejadian mereka juga akan terlibat bentrok dengan kelompok ultras lainnya. Sebagai gambaran bagaimana ultras berkembang di Italia silakan tonton film yang rilis pada 2020 lalu berjudul Ultras.

Lantas mengapa suporter sepak bola identik dengan kerusuhan atau kekerasan bahkan di Eropa yang selama ini kalian kira sangat tertib. Menurut pengamatan saya, ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, sepak bola lahir dan berkembang di lingkungan yang keras. Menurut beberapa catatan sejarah, sepak bola pertama kali dimainkan oleh tentara di Tiongkok. Di Inggris sepak bola berkembang pesat di lingkungan buruh. Klub-klub besar macam Manchester United mulanya adalah tim sepakbola milik perusahaan kereta api.

Kedua, tidak ada filter bagi penikmat sepak bola. Tidak seperti tenis atau berkuda yang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu, sepakbola adalah olahraga murah yang bisa dinikmati semua kalangan. Mulai dari kalangan elit hingga kalangan sulit, mulai dari orang baik-baik hingga brandalan sudah cinta sepakbola sejak mereka kecil.

Ketiga, mayoritas kelompok suporter hobi mengonsumsi minuman keras. Di Eropa bahkan suporter mengonsumsi muniman keras di dalam stadion. Efek memabkuan minuman keras bisa menjadi pemicu kerusuhan. Jika tubuh sudah dikuasai oleh alkohol, maka kesenggol sedikit saja langsung naik pitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun