Tere Liye, penulis yang tidak pernah gagal dalam menciptakan karya yang menarik untuk dibaca, setidaknya bagi saya. Semua bukunya yang sudah saya baca, selalu berhasil membuat saya terhibur, bahkan tak jarang saya bereaksi atas adegan yang tersaji dalam kisahnya.Tere Liye tidak memiliki gaya bahasa yang terlalu spesial. Akan tetapi, kisah yang disajikan dalam novel-novelnya bisa dikatakan sempurna. Setiap plot yang disajikan menarik dan ending-nya tidak mudah ditebak, kecuali ending yang selalu menggantung.
Belum lama ini, penulis yang menjadi salah satu pavorit saya menerbitkan buku anyar. Teruslah Bodoh Jangan Pintar judulnya. Novel terbitan PT Sabak Grip Nusantara ini mengangkat tema yang cukup berat, yakni konflik agraria yang kerap terjadi di Indonesia. Perebutan lahan antara penduduk yang sudah mendiami suatu wilayah sejak puluhan tahun lamanya dengan sebuah korporasi, yang tak jarang mendapat bekingan dari pemerintah.
Kisah berawal dari sebuah gedung kementrian. Di sana akan digelar sidang dengar pendapat untuk menentukan apakah pemerintah akan tetap memberi izin konsensi kepada PT Semesta Minerals & Mining, atau menolak izin tersebut. Dalam sidang ini, penggugat berasal dari kelompok aktivis lingkungan.
Sidang menghadirkan beberapa saksi. Baik pihak penggugat maupun tergugat, Â sama-sama menghadirkan saksi.
Orang pertama yang bersaksi di persidangan itu adalah Pak Ahmad. Dia didatangkan pihak penggugat untuk bersaksi bahwa PT Semesta Minerals & Mining menimbulkan masalah lingkungan yang serius di kampungnya tiga puluh tahun lalu. Lubang-lubang bekas tambang tidak direklamasi dan pada akhirnya menampung air. Lubang itu pun berubah menjadi kolam dengan kedalaman puluhan meter. Lubang itu bahkan tidak diberi peringatan di mulutnya. Badrun, teman masa kecil Pak Ahmad tewas akibat tenggelam di lubang itu.
Untuk meng-counter kesaksian Pak Ahmad, pihak tergugat menghadirkan Mukti. Mukti juga merupakan teman masa kecil Pak Ahmad. Dia bersaksi dalam persidangan, bahwa Pak Ahmadlah penyebab kematian Badrun dan bukan semata-mata salah lubang bekas tambang itu. Mukti bersaksi, Ahmad memukul kepala Badrun saat perebutan bola. Ketika itu mereka bermain bola air di kolam tersebut.
Di hari-hari persidangan berikutnya pihak penggugat terus menghadirkan saksi-saksi untuk memperkuat gugatan mereka. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh pihak penggugat adalah mereka yang menjadi korban dari keserakahan pihak tergugat.
Ada yang dua anaknya mati akibat limbah tambang yang mencemari lingkungannya. Seorang saksi lain harus kehilangan sawah, rumah, dan kampungnya yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Ada juga seorang mantan pekerja di PT Semesta Minerals & Mining yang bersaksi bahwa pihak tergugat tidak memberlakukan pekerjanya dengan baik.
Saksi yang dihadirkan para aktivis lingkungan memang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Akan tetapi, mereka membawa kesaksian yang sama bahwa pihak tergugat selalu menggunakan aparat negara untuk "mengusir" masyarakat yang dengan lantang menolak pembebasan lahan. Aparat yang melindungi proyek pihak tergugat tak jarang menggunakan kekerasan dalam mengendalikan masa.
Pihak tergugat, dalam sidang ini diwakili oleh pengacara top yang bayarannya selangit. Karena bayarannya yang begitu mahal, tentu pengacara itu memiliki reputasi tinggi. Dia selalu memenangkan persidangan yang ditanganinya.
Pengacara itu selalu berhasil mendatangkan saksi-saksi yang mampu meng-counter saksi yang didatangkan pihak penggugat.
Buku ini nyaris sempurna. Tema yang diangkat sangat dekat dengan realita yang ada di negara kita, yakni konflik agraria. Konflik agraria kerap menjadi isu di negeri ini. Banyak konflik agraria terjadi, misalnya seperti yang terjadi di Pulau Rempang dan desa Wadas. Jadi, jika anda pernah mendengar teori mimesis, teori yang diungkapkan oleh plato, yang mengatakan bahwa karya seni atau sastra merupakan representasi atau cerminan dari kehidupan nyata, maka buku inilah salah satu buktinya.
Pembaca akan terbawa suasana persidangan yang menegangkan jika membaca buku ini. Sesekali pembaca akan dibuat geregetan atas kesaksian dari saksi pihak tergugat, juga bantahan-bantahan yang dikeluarkan oleh si pengacara.
Kegigihan enam tokoh dari pihak penggugat akan membuat pembaca takjub. Mereka terus berjuang untuk membela rakyat, walaupun dengan sumber daya yang seadanya.
Novel dengan tebal 371 halaman tidak luput dari kekurangan. Typo atau salah ketik masih dapat dijumpai dalam buku ini. Tidak banyak, namun untuk sebuah karya yang ditulis oleh penulis kelas atas, seharusnya hal seperti itu bisa dihindari.
Gaya bahasa dalam buku ini sama seperti kebanyakan gaya bahasa dalam buku karya penulis Negeri Para Bedebah yang terbilang sederhana. Akan tetapi, di beberapa bagian terdapat istilah-istilah pertambangan yang jarang diketahui oleh orang awam.
Terdapat adegan-adegan kekerasan yang tidak cocok untuk semua kalangan dalam buku ini. Jadi, sang pengarang menyarankan buku ini hanya dibaca oleh dewasa 18+.
Untuk anak di bawah usia 18, jika ingin membaca buku ini, sebaiknya meminta persetujuan orang tua terlebih dahulu. Biarkan orang tua kalian membaca agar dapat mempertimbangkan apakah buku ini layak dibaca oleh anak usia di bawah 18 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H