Pengacara itu selalu berhasil mendatangkan saksi-saksi yang mampu meng-counter saksi yang didatangkan pihak penggugat.
Buku ini nyaris sempurna. Tema yang diangkat sangat dekat dengan realita yang ada di negara kita, yakni konflik agraria. Konflik agraria kerap menjadi isu di negeri ini. Banyak konflik agraria terjadi, misalnya seperti yang terjadi di Pulau Rempang dan desa Wadas. Jadi, jika anda pernah mendengar teori mimesis, teori yang diungkapkan oleh plato, yang mengatakan bahwa karya seni atau sastra merupakan representasi atau cerminan dari kehidupan nyata, maka buku inilah salah satu buktinya.
Pembaca akan terbawa suasana persidangan yang menegangkan jika membaca buku ini. Sesekali pembaca akan dibuat geregetan atas kesaksian dari saksi pihak tergugat, juga bantahan-bantahan yang dikeluarkan oleh si pengacara.
Kegigihan enam tokoh dari pihak penggugat akan membuat pembaca takjub. Mereka terus berjuang untuk membela rakyat, walaupun dengan sumber daya yang seadanya.
Novel dengan tebal 371 halaman tidak luput dari kekurangan. Typo atau salah ketik masih dapat dijumpai dalam buku ini. Tidak banyak, namun untuk sebuah karya yang ditulis oleh penulis kelas atas, seharusnya hal seperti itu bisa dihindari.
Gaya bahasa dalam buku ini sama seperti kebanyakan gaya bahasa dalam buku karya penulis Negeri Para Bedebah yang terbilang sederhana. Akan tetapi, di beberapa bagian terdapat istilah-istilah pertambangan yang jarang diketahui oleh orang awam.
Terdapat adegan-adegan kekerasan yang tidak cocok untuk semua kalangan dalam buku ini. Jadi, sang pengarang menyarankan buku ini hanya dibaca oleh dewasa 18+.
Untuk anak di bawah usia 18, jika ingin membaca buku ini, sebaiknya meminta persetujuan orang tua terlebih dahulu. Biarkan orang tua kalian membaca agar dapat mempertimbangkan apakah buku ini layak dibaca oleh anak usia di bawah 18 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H