Mohon tunggu...
Rakha N.P. Dhaniwijaya
Rakha N.P. Dhaniwijaya Mohon Tunggu... Penulis - Homo sapien, resident of Earth

calon pengabdi, pecandu belajar dan mengajar, literature enthusiast.......a happy man for sure!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Darmagandhul dan Cocoklogi sebagai Guyonan, Kebohongan, dan Ajaran

28 April 2020   16:56 Diperbarui: 28 April 2020   17:01 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saking banyaknya penafsiran istilah Islam menggunakan ‘cocoklogi’ dan merujuk pada kata-kata jorok dalam bahasa Jawa, tentu membuat kita yakin bahwasanya sang penulis adalah orang yang sama sekali tidak faham ajaran Islam dan asal muasal istilah Islam. Mengerti istilah saja nihil, apalagi menulis tentang karya yang bisa dijadikan sumber sejarah Islam di pulau Jawa.

  

Berbicara mengenai penulis, timbullah pertanyaan, siapa sebenarnya pengarang dari Darmagandhul? Kenapa sampai sebegitu ‘kurang ajar’nya dalam menafsirkan dan menggambarkan Islam? Apa tendensinya dalam membuat Darmagandhul? Apa motivasinya? Inilah yang menjadi perdebatan, karena tidak ada yang tahu. Darmagandhul seperti muncul dari tanah, tanpa petunjuk akan siapa pengarangnya. Ki Kalamwadi, yang dinyatakan sebagai penulis serat ini pun tidak jelas siapa identitas sebenarnya. Tanpa penulis yang jelas, tentu tendensi suatu karya juga tidak bisa diketahui secara pasti.

Apakah penerapan ‘cocoklogi’ dalam teks ini bisa dimaknai sebagai lawakan, humor gelap, dan guyonan? Tentu di era modern ini, banyak kita amati pengaplikasian ‘cocoklogi’ dalam meme sebagai guyonan. Tapi, jika melihat kondisi Jawa saat itu dimana sedang gencarnya dilakukan usaha untuk “menjauhkan Jawa dengan Islam”, tentu menjadi hal yang aneh apabila karya ini ditulis hanya untuk guyonan semata.

Apakah ternyata buku ini adalah propaganda pemerintah kolonial Belanda untuk ‘kristenisasi’ maupun untuk menyatakan kebohongan terhadap Islam? Mungkin saja, karena di saat itu politik westernisasi sedang dijalankan dengan intens. Dibentuklah suatu upaya untuk menunjukkan, bahwa modernitas sesungguhnya adalah pengadopsian pengetahuan modern Barat dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Islam dinyatakan sebagai penghancur kemajuan dan kebudayaan agung Jawa dalam wujud Majapahit, serta merupakan simbol kebiadaban dan ketertinggalan. Dalam misi ini, Serat Darmogandhul ditemani dengan Suluk Gatholoco dan Babad Kediri yang sama-sama kontroversialnya.

Apakah dengan anonimitas karya tersebut, lantas menjadikannya sebagai pijakan sejarah yang kuat? Lalu menetapkannya sebagai petunjuk akan ajaran Islam yang tersebar di kalangan rakyat Nusantara di zaman para wali? Bahkan diwujudkan sebagai suatu ajaran terpisah dari agama manapun? Tentu banyak yang meragukan pendapat ini. Bahkan mungkin orang non muslim terheran-heran membaca serat ini, dengan ejekan dan hinaan yang sangat banyak ditujukan kepada Islam.

Entahlah apa tujuan penulisan karya ini. Apakah untuk guyonan, kebohongan, maupun ajaran. Bagi saya pribadi, penafsiran istilah Islam dalam Darmagandhul yang ngawur kebangetan dan berbeda jauh dengan asal katanya dalam bahasa Arab telah meyakinkan saya bahwa karya ini sangat tidak bisa dipercaya, baik sebagai sumber sejarah maupun bentuk ajaran agama. Pengen percaya kayak bagaimana? La wong penafsiran e ngawur kabeh ngono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun