Mohon tunggu...
Rakha N.P. Dhaniwijaya
Rakha N.P. Dhaniwijaya Mohon Tunggu... Penulis - Homo sapien, resident of Earth

calon pengabdi, pecandu belajar dan mengajar, literature enthusiast.......a happy man for sure!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19, Kolera, dan Pendahulunya: Sejarah Singkat Pandemi di Dunia

24 Maret 2020   12:43 Diperbarui: 24 Maret 2020   13:07 2084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia seakan-akan di ambang kolaps. Jalanan yang biasanya dilewati kendaraan motor, sepi layaknya jalanan kota mati. Sekolah-sekolah diliburkan. Dimana-mana terjadi penyemprotan desinfektan. Rumah sakit penuh sesak bagaikan pasar, pasar akhirnya sepi. Banyak yang berkunjung ke RS baik untuk mengecek kesehatan tubuh ataupun sebab-musabab lainnya. 

Restoran tutup. Pertandingan sepakbola ditunda. Di media sosial bermunculan #DiRumahAja, #FlattenTheCurve, serta hashtag-hashtag lainnya. Dimana-mana kita lihat foto para petugas kesehatan menunjukkan luka-luka di pipi ataupun tangan yang berkeriput karena terlalu sering memakai sarung tangan dan masker.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Tentunya karena dunia yang kita cintai ini, sedang terserang COVID-19, yang sekarang sudah dikategorikan sebagai pandemi. Mungkin bagi orang awam (termasuk saya), sering mendengar kata “pandemi”, namun kurang faham mengenai definisi dari pandemi itu sendiri. 

Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah, apakah dunia pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya? Bagaimana para pendahulu kita di muka bumi ini mampu menghadapi pandemi yang terjadi di era mereka? Apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran agar COVID-19 bisa kita tangani sebaik mungkin?

Yang perlu diperhatikan disini adalah, bahwa saya bukan seorang dokter atau ahli kesehatan masyarakat yang mampu menjelaskan penyakit ataupun virus secara mendetail. Saya juga bukan ahli sejarah yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan tentang sejarah penyakit, terutama pandemi di dunia. Saya hanyalah manusia biasa yang mencoba menerapkan kata-kata Ir. Soekarno, “jangan sekali-kali melupakan sejarah,” untuk mencoba belajar dan mengerti. Anyway, let’s begin!

Pandemi (dari bahasa Yunani pan : semua, dan demos : orang), secara definisi adalah “epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, misalnya beberapa dunia, atau di seluruh dunia”. Lalu, epidemi sendiri (epi : pada, demos : rakyat) adalah “penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi tertentu manusia, dan terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga”. Epidemi adalah wabah (tersebarnya penyakit menular pada masyarakat yang baru muncul ataupun sudah lama tidak muncul) yang terjadi lebih cepat dari dugaan.

 The point is, semua bermula dari wabah di lingkup kecil tertentu (biasa disebut outbreak). Ketika laju wabah tersebut lebih besar dari dugaan dan menyerang wilayah yang lebih luas, maka dinyatakan sebagai epidemi. Ketika sudah menjalar secara global, maka dinyatakan sebagai pandemi.

Pandemi berbeda dengan endemi. Endemi terjadi bila suatu infeksi berlangsung di dalam populasi tanpa pengaruh dari luar, dan menyerang wilayah geografis atau kelompok tertentu. Sama-sama wabah, namun berbeda cakupan. Contohnya seperti DBD dan Filariasis di Indonesia, ataupun Ebola di daerah sub-sahara Afrika.

Di sejarah manusia, sudah banyak terjadi pandemi yang cukup signifikan. Pandemi yang paling awal tercatat adalah penyakit Pes, yang dimulai tahun 541 (dikenal sebagai Wabah Justinian). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis, serta menyerang kelenjar getah bening. Wabah pes pertama ini bermula dari Mesir, lalu menyerang Konstantinopel. Pada puncaknya, berhasil menewaskan 10.000 orang tiap hari serta memakan korban seperempat populasi manusia di Mediterania Timur.

Jangan lupakan juga The Black Death di Eropa tahun 1300-an. Kemungkinan wabah ini dibawa oleh para pedagang Italia yang mengungsi dari Crimea, dengan kulit yang menghitam (karena pendarahan subdermal, ciri khas wabah ini) dan beberapa awak kapal mati mengenaskan. 

Diperkirakan sepertiga-dua pertiga populasi Eropa (75-200 juta orang) terserang wabah ini, serta berhasil meluas ke Asia dan Timur Tengah. Wabah ini, saking destruktifnya, mampu merubah struktur sosial masyarakat Eropa, dimana akhirnya terjadi perburuan dan pembunuhan kaum minoritas Yahudi, kaum miskin, pendatang, dan kaum kecil lainnya.

Berbicara tentang pandemi, tentu tidak bisa kita kesampingkan tentang kolera, yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholera dan menyerang saluran pencernaan. Berawal dari India tahun 1816, penyakit ini menyebabkan tujuh periode pandemi sampai ke Uni Soviet tahun 1966. Wabah Influenza juga perlu diberi perhatian. 

Dalam kurun waktu 1889 sampai 1969, marak terjadi flu dengan berbagai macam subtipe dan nama belakangnya, mulai dari flu Asiatik, flu Spanyol (H1N1 di tahun 1918-1920), flu Asia (H2N2), sampai ke flu Hong Kong (H3N2). Di tahun 2009 sampai 2010 pun terjadi Wabah Swine Flu yang juga disebabkan oleh virus H1N1. Pandemi yang terjadi sekarang adalah HIV/AIDS, serta COVID-19 yang menjadi asal mula penyebab kacaunya kondisi dunia sekarang ini.

Sekarang kita tahu bahwa dunia sudah mengalami berbagai macam pandemi dan wabah besar. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi pandemi ini? Apa upaya yang sudah dilakukan manusia untuk melawan dan menghambat penyebaran wabah yang telah terjadi?

Tentu para pendahulu kita tidak tinggal diam dalam menghadapi pandemi. Banyak metode pengobatan yang telah diciptakan. Mulai dari penggunaan antibiotik, vaksin, hingga penciptaan desinfektan. Dengan mempelajari organisme yang menyebabkan suatu wabah, manusia juga mampu mempelajari cara penyebaran wabah tersebut serta melakukan upaya pencegahan untuk memutus rantai penyebarannya. 

Influenza mampu ditularkan melalui udara lewat batuk ataupun bersin, kontak langsung dengan tinja burung atau unggas, dan juga kontak dengan permukaan yang terkontaminasi. Kolera tersebar lewat air minum yang terkontaminasi atau ikan yang tidak dimasak dengan benar, terutama kerang. The Black Death terjadi karena gigitan serangga atau hewan pengerat yang terkontaminasi serta kontak dengan penderita. Kita sekarang memahami bahwa pembungkus virus Corona terdiri dari lapisan lemak, yang akan hancur ketika mengenai sabun, baik batang maupun cair.

Dalam menghadapi COVID-19, patutlah kita bercermin dan menanyakan pada diri kita, apakah kita sudah belajar sejarah dengan benar? Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi pandemi, yang tentu juga dialami para pendahulu kita? Apakah kita sudah mengerti tentang cara penyebaran wabah yang menimpa kita, sesuai dengan apa yang dilakukan nenek kakek kita dahulu ketika bertatap muka dengan wabah? 

Apakah kita, khususnya para ilmuwan, sudah mengusahakan vaksin untuk para penderita? Apakah bagi kita, sejarah hanyalah “masa silam” yang terlalu “kuno” dan tidak layak untuk diambil inti sarinya dan diterapkan di masa kini? Apakah tidak ada satu dua pelajaran yang bisa dipetik dari masa lalu?

“Apakah-apakah” yang lainnya pasti akan bermunculan seiring jalannya waktu.

Saya faham bahwa saya bukan ahli kesehatan ataupun ilmuwan yang mampu menciptakan vaksin, desinfektan, ataupun produk medis lainnya untuk pemutusan rantai penyebaran COVID-19. Tapi, setidaknya saya bisa membuat hand sanitizer sendiri di rumah. Saya juga bukan dokter ataupun petugas kesehatan yang mampu menangani pasien COVID-19. Tapi, setidaknya saya bisa berdiam diri di rumah untuk meminimalisir jumlah individu penyusun rantai penyebarannya. 

Maka, saya lakukan peran saya sebisa mungkin. Melalui media tulisan, saya ingatkan : Janganlah bikin malu para leluhur, nenek moyang, dan Ir. Soekarno. Terkadang kita perlu yang namanya “memasadepankan masa silam.”Belajar dari pengalaman, untuk keamanan dan kenyamanan di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun