Hari pertama di sekolah baru di semester dua. Semenjak aku pindah, semuanya serba baru. Rumah baru, sekolah baru, teman baru, tahun baru, bahasa baru. Ah ... benar-benar hidup baru yang tenang. Mama mengantarkanku ke sekolah yang dibilang cukup favorit di kalangan masyarakat. Pagi berkabut tidak membuat kami berhenti melaju di jalan sepi. Ketika aku di motor, memoriku di sekolah lama teringat kembali. Tapi aku lupa yang mana memori yang aku ingat itu. Jadi, gak bisa cerita deh! Ya udah tak apa.
Sesampainya di sekolah, tempat ini masih sepi sekali. Seperti tempat terbelangkai yang ditinggalkan. Padahal ini sudah jam enam lima belas menit. Kalau di kota, jam segini sudah ada siswa yang hadir. Bahkan saking sepinya, para hantu bisa nongkrong dulu di atas genteng menikmati matahari terbit. Sebenarnya, ada satu tukang kebersihan sekolah yang sedang menyapu debu. Debu kok di sapu Pak ... Pak!
Lama aku menunggu, akhirnya ada seorang guru yang tiba juga di sekolah. Dia langsung mempersilahkan aku dan mama masuk ke dalam ruang TU. Di ruangan ini terjadilah perbicangan hangat antara Pak Guyup dengan mamaku. Aku ikut menyimak. Tapi masalahnya, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, soalnya mereka memakai bahasa jawa.Â
Jadi, aku hanya mengangguk-angguk tanda memperhatikan walaupun sepenuhnya aku  tidak mengerti. Karena dia tahu aku tidak bisa berbahasa jawa, dia mengajakku berbicara bahasa indonesia.Â
"Kamu nanti masuk ke kelas VIII-H, kebetulan di kelas itu juga ada dua murid pindahan dari kota juga. Hanya saja, mereka pindah ke sini saat kenaikan kelas delapan." ujar Pak Guyup tersenyum ramah. Syukurlah ada mereka, kalau tidak, pasti aku seperti orang hilang. Gak ngerti bahasa jawa. Sekolah mulai ramai dipadati siswa-siswi. Dia mengajakku untuk segera ke kelas yang akan aku tempati. Jujur ya ... hari itu aku malu banget, soalnya aku yang hanya pakai jilbab putih sendiri di sekolah ini.Â
Maklum, beda daerah, beda seragam. Walaupun baju seragamnya sama putih-biru, namun warna kerudungku berbeda dengan mereka. Sorotan mata langsung memandangku. Iyalah, orang aku paling mencolok sendiri.Â
Bayangin aja, semua sekolah langsung berbisik tentangku. "Ketok'e dek'e cah anyar, dhelok'en kudung nge putih. (Kayaknya dia anak baru, liatin kerudungnya putih)" kata seorang siswi yang tak sengaja melihatku.
Di kelas, suasana bahasa jawa langsung menggema telingaku. Aku tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Untungnya dua orang murid yang dibilang Pak Guyup tadi langsung menghampiriku. Namanya, Luluk dan Minoel. Luluk pindahan dari Tangerang, sedangkan Minoel pindahan dari  Bekasi. Dua perempuan ini menyambutku dengan hangat di kelas. Tak hanya mereka, aku juga berkenalan dengan yang lain juga.Â
Selang tak berapa lama aku masuk, ada seorang murid perempuan yang ikut masuk ke kelas. Aku sedikit terkejut kalau dia juga memakai kerudung putih sama sepertiku. Â Oh ... rupanya dia juga pindahan, sama sepertiku.Â
Aku tidak menyangkan kalau hari itu, ada murid pindahan lain. Karena kami sama-sama murid baru, akhirnya kamu putuskan untuk duduk sebangku. Aku tambah terkejut lagi, kalau dia bisa berbahasa jawa. Angel namanya. Dia bilang, kalau dia pindahan dari Grobogan Jawa Tengah. Pantas saja di bisa bahasa jawa.Â
Wali kelas VIII-H masuk dengan gagah. Bu Marni langsung duduk di meja guru dengan membawa wajah tegas. Semua murid di kelas ini langsung menghampiri tempat mereka. Matanya menatap tajam semua sudut kelas. "Kamu! Yang di pojok berdua! Sekarang hari apa ini?!" dia membentak sambil menunjuk aku dan Angel. Wajahku sedikit raut mendengar kalimat tersebut.Â
"Bukannya ini hari Selasa, ya?" bisikku pada Angel. Dia hanya mengangkat bahu. "Kamu dengar tidak?!" Bentakkan itu tambah menjadi-jadi. Jantungku langsung berdenyut kencang tidak karuan. Kenapa tiba-tiba kami jadi dibentak begini. "Murid baru Bu." salah satu temanku memberitahu. "Oh, murid baru ya!" Bu Marni langsung jadi salah tingkah.Â
Dia seperti merasa bersalah setelah mendengar berita kalau kami murid baru. Fiuhh ... terimakasih Melani, sudah memberitahu tahu. Hampir saja aku kena marah. Bu Marni  memasang wajah malu karena sudah membentak duluan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H