"Putri, lalu dari manakah Kakang dapat menghidupi keluarga Kakang, adik masih kecil, sementara Ibu sudah renta, ayah telah tiada sejak lima tahun lalu".
"Ah Kakang, panggil saja saya Harum, Kakang", Putri Harum Hutan memerah pipinya.
"Eh iya, Ha.. Harum", baru kali ini ia memanggil kekasihnya dengan namanya sendiri. Meskipun ia sangat mencintainya, tapi ia sadar betul, ayah Putri Harum Hutan adalah petinggi kerajaan.
"Kakang bisa diangkat menggantikan di Kadipaten Munjungan tempat ayah memerintah dulu".
"Tapi Harum, aku tak punya kecakapan memerintah, Kakang lebih suka menjadi prajurit. Mati sebagai pahlawan yang membela Majapahit adalah impianku Harum",
Sambil menghela nafas, Sumitro memeluk erat tubuh wanita yang menyandar di pundaknya. Mentari di ufuk barat tampak malu mengintip dua insan yang kasmaran.
"Duhai Harum, jika Dewata sudah menakdikan kita hidup bersama, tak ada yang mampu menghalanginya, meski kita berbeda kasta", Sumitro berucap sambil memejamkan mata.
"Lusa akan ada pertempuran melawan pemberontak...."
"Kakang ditugaskan menjadi salah satu prajurit yang berangkat kesana, Harum".
"Jangan tinggalkan Harum, Kakang", sambil memeluk tubuh kekar sang kekasih.
"Tidak, Harum. Kakang pergi hanya sementara. Setelah pertempuran nanti Kakang akan berguru kepada Ki Ilat Putih".