Ajang gelaran Piala Dunia 2022 di Qatar merupakan sebuah event 4 tahunan yang diselenggarakan oleh FIFA sebagai wadah untuk berkompetisi bagi negara-negara sepakbola terbaik di seluruh dunia.Â
FIFA World Cup atau yang dikenal sebagai Piala Dunia merupakan ajang pertandingan sepak bola tertinggi antar negara sedunia.Â
Perhelatan tersebut ditonton oleh hampir seluruh masyarakat dunia (Dibyo, 2020). Pemilihan tuan rumah Qatar sudah berlangsung selama 12 tahun sebelum ajang tersebut digelar pada tahun ini, tepatnya di tahun 2010.
Selama proses terpilihnya Qatar menjadi tuan rumah pada tahun 2022, Qatar juga bertanggung jawab untuk menyiapkan gelaran tersebut secara layak. Mulai dari pembangunan venue (stadion, infrastruktur, dan lain-lain), tata kota, dan tempat wisata yang nantinya digunakan untuk para turis menetap.Â
Dalam persiapan tersebut, menurut Agustama (2021) Sebagai negara dengan populasi yang rendah, Qatar sangat bergantung pada tenaga kerja asing untuk membangun sejumlah fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan dalam menyelenggarakan Piala Dunia tersebut. Jumlah imigran pekerja yang melimpah lalu coba dimanfaatkan sebagai tenaga kerja pembangunan infrastruktur di negara tersebut.
Menurut data tahun 2013-2016 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan dan Statistik Qatar, 90 persen dari total populasi Qatar terdiri dari pekerja migran, dimana 40 persennya aktif bekerja di bidang konstruksi infrastruktur. Dari data yang disajikan, membuat Qatar sangat rentan terhadap praktik diskriminasi dan eksploitasi.Â
Menurut data yang dijelaskan oleh Naufal (2021) jika tenaga kerja asing tersebut berasal dari negara-negara Asia seperti India, Nepal dan Bangladesh. Para migran tersebut yang menjadi tenaga kerja asing sering terlibat dalam praktik-praktik perburuhan yang dianggap tidak adil. Alasan ekonomi menjadi faktor utama banyak imigran yang mencari pekerjaan di Qatar.
Karena faktor tersebut, imbasnya ialah banyak pekerja yang mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminatif oleh para pihak perusahaan kerja. Gaji yang mereka terima tidak sesuai dengan perjanjian awal yang disepakati. Lalu, banyak pekerja imigran yang meninggal dunia saat mengerjakan proyek. Faktor tersebut membuat perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar dikecam dan mendapat boikot karena isu-isu ketidakadilan yang terjadi pada pihak pekerja imigran. Padahal, hal tersebut telah terjadi bertahun-tahun sebelum Piala Dunia dilaksanakan.
Sedangkan, mendekati pelaksanaannya terdapat juga beberapa isu yang menjadi sorotan. Diantaranya merupakan isu pelarangan minuman alkohol yang dijual secara bebas di Qatar. Keputusan tersebut diambil oleh pemerintahan Qatar selaku regulasi yang mereka anut sebagai salah satu negara Islam di Timur Tengah. Lalu, adanya pelarangan berbagai kampanye yang berhubungan dengan LGBTQ+ juga menjadi salah satu keputusan yang disorot.
Berbagai macam kontroversi yang terjadi selama persiapan Piala Dunia di Qatar membuat sebagian besar penonton menyuarakan untuk mem-boikot gelaran ini. Mereka beranggapan jika kompetisi seperti ini hanya dijadikan ajang untuk mencari keuntungan semata tanpa memikirkan krisis kemanusiaan yang terjadi saat persiapan ajang tersebut.Â
Terlebih lagi, yang membuat mereka semakin yakin untuk menyuarakan boikot pada event ini ialah pada kasus HAM yang melanda para pekerja imigran di Qatar. Qatar memang bukan satu-satunya negara tuan rumah yang punya riwayat panjang terkait pelanggaran HAM. Namun, kondisi buruk yang dialami buruh migran telah dikaitkan langsung dengan persiapan Piala Dunia, sehingga masalah yang terjadi terasa lebih nyata.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, dapat dikaji lebih dalam mengenai minat penonton sebagai sebuah sistem masyarakat yang dikaitkan dengan teori fungsionalisme-struktural milik Talcott Parsons. Aspek tersebut bisa dilihat dari alur penonton yang saling berkaitan terputus akibat adanya isu-isu negatif soal Piala Dunia. Padahal, jika dilihat dari perspektif fungsionalisme, Talcott Parsons menjelaskan jika aspek antar bagian harus saling berkaitan, sehingga sistem tersebut berjalan terus-menerus.Â
Maka, apabila ada salah satu bagian yang rusak, akan mempengaruhi bagian yang lain dan mengganggu stabilitas sistem tersebut. Aspek tersebut bisa dilihat dimana poin fungsi terputus pada kekecewaan penonton akibat adanya isu negatif, sehingga minat penonton untuk menyaksikan Piala Dunia menjadi menurun. Sehingga, fungsionalisme disini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H