Diam yang Berbicara; Kisah Sutan Mudo Penjual Teh Es dan Olok-Olok yang Menggores Hati
Di bawah teriknya matahari siang, Sutan Mudo penjual Teh Es menjajakan jualannya menyusuri jalanan kampung. Senyum tipis yang sederhana itu menghiasi wajahnya setiap kali seorang anak kecil datang dengan recehan untuk membeli Teh es nya, seolah tak ada beban yang lebih berat dari bakul tempat Tes Esnya yang di susun rapi itu. Meskipun ada senggulung atau  kain alas kepala untuk melindungi kepala dari rasa sakit menahan beban berat. Dalam pepatah minang "beban berat senggulung batu, begitulah kira kira gambaran kehidupan Sutan Mudo. Hidupnya sederhana, penuh perjuangan, dan seperti banyak orang di sekitarnya, ia adalah bagian dari kaum akar rumput yang terus berjuang untuk bertahan hidup.
Namun, hari itu berbeda. Namanya, yang tak pernah dikenal orang banyak, mendadak menjadi pembicaraan. Bukan karena kerja kerasnya, bukan pula karena kisah inspirasinya, melainkan karena sebuah candaan yang dilontarkan oleh Engku Palo, tokoh terkemuka di kampungnya. Dalam sebuah acara, Engku Palo menyebut profesi Sutan Mudo penjual Teh Es dengan nada olok-olok, dan tentunya mengundang gelak tawa dari mereka yang mendengar.
Bagi sebagian orang mungkin terasa ringan dan hanya guyonan belaka saja, namun bagi Sutan Mudo dan banyak orang lain yang senasib dengannya adalah pukulan telak dan mematikan karakter. Sebuah hinaan yang tak langsung menyebut namanya, tetapi mengolok takdir mereka—takdir orang-orang yang setiap hari berjuang keras namun tetap hidup dalam kesederhanaan. Gelak tawa yang menggema itu menjadi beban baru yang tak kasat mata, menggores harga diri dan perasaan mereka yang paling dalam.
Meskipun Engku Palo segera meminta maaf secara terbuka atas candaan itu, dampaknya telah terlanjur menyebar. Luka itu sudah terbentuk, tak hanya di hati Sutan Mudo , tetapi juga di hati banyak kaum akar rumput lainnya. Permintaan maaf itu mungkin menghapus salah satu sisi, tetapi tidak serta-merta menyembuhkan rasa sakit yang telah ditinggalkan.
Di tengah kehebohan itu, Sutan Mudo penjual Teh es memilih diam. Diamnya bukan tanda kelemahan, tetapi cerminan dari kesabaran yang dalam. Ia tidak membalas dengan kemarahan, tidak pula menyerukan protes lantang. Ia hanya terus melanjutkan harinya, menjajakan Teh Es nya seperti biasa, melayani anak-anak kecil yang membawa recehan, sambil memendam perasaan yang bergejolak. Dalam diamnya, ia berdoa.
Doa Sutan Mudo itu tentunya tidak keras, bahkan nyaris tidak terdengar. Namun, doa itu penuh makna, menggambarkan kekuatan batin yang luar biasa. Ia berdoa untuk dirinya, untuk keluarganya, dan bahkan untuk mereka yang telah melukai hatinya. Doa dalam sunyi itu adalah simbol keteguhan hati, sebuah pengingat bahwa kekuatan terbesar sering kali datang dalam bentuk yang paling sederhana.
Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi banyak orang. Tidak hanya bagi Engku Palo sebagai sosok publik, tetapi juga bagi masyarakat secara umum. Kata-kata yang diucapkan, terlebih oleh mereka yang memiliki pengaruh, memiliki kekuatan yang besar—bisa menjadi berkat, tetapi juga bisa melukai. Candaan yang dianggap ringan bisa menjadi beban berat bagi orang lain, terutama bagi mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan perjuangan.
Sutan Mudo penjual es, dalam kesederhanaannya, telah mengajarkan kita semua pelajaran berharga. Bahwa harga diri bukan diukur dari profesi, melainkan dari ketulusan hati. Bahwa kekuatan tidak selalu hadir dalam bentuk perlawanan keras, tetapi sering kali dalam diam yang penuh doa. Dan bahwa luka yang ditinggalkan oleh kata-kata hanya dapat disembuhkan dengan penghormatan dan penghargaan kepada sesama manusia.
Diamnya Sutan Mudo adalah simbol perlawanan yang anggun. Doanya adalah kekuatan yang membangun. Dan perjuangannya adalah pengingat, bahwa dalam kesederhanaan, ada kekuatan besar yang tidak pernah bisa diremehkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H