Belakangan ini, fenomena "no viral, no justice" semakin mencuat ke permukaan. Keadilan seolah menjadi barang mahal yang hanya bisa diakses ketika sebuah peristiwa mendapat perhatian publik secara masif di media sosial. Namun, di balik hiruk-pikuk keviralan, ada pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama: Apakah kita masih menjunjung tinggi keadilan dan nilai kemanusiaan sebagai pilar berbangsa dan bernegara?
Keadilan yang Tergadai oleh Popularitas
Di era digital, media sosial menjadi alat yang ampuh untuk menyuarakan ketidakadilan. Sayangnya, pola ini juga menimbulkan anomali yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus yang tidak mendapatkan sorotan publik sering kali luput dari perhatian pihak berwenang, seolah-olah keadilan hanya hadir bagi mereka yang mampu menarik simpati melalui layar ponsel.
Fenomena ini mencerminkan kerentanan sistem keadilan kita yang tidak selalu bekerja secara independen. Keadilan sejatinya harus berdiri di atas prinsip kebenaran, bukan popularitas. Ketika hukum hanya berjalan karena tekanan opini publik, maka prinsip negara hukum mulai terkikis. Kita tidak lagi berbicara tentang supremasi hukum, tetapi tentang supremasi viralitas.
Krisis Prikemanusiaan
Di sisi lain, fenomena ini juga mencerminkan krisis prikemanusiaan yang mendalam. Keviralan sering kali mengeksploitasi penderitaan manusia demi konten yang sensasional. Ada kalanya korban tidak hanya kehilangan hak, tetapi juga martabat mereka, karena peristiwa yang mereka alami menjadi konsumsi publik tanpa batas.
Sebagai masyarakat, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar peduli terhadap penderitaan sesama, ataukah kita hanya menikmati sensasi dari tragedi yang mereka alami? Solidaritas yang sejati tidak semestinya bergantung pada seberapa banyak "like" atau "share" yang diterima sebuah unggahan.
Membangun Kesadaran Kolektif
Untuk keluar dari lingkaran "no viral, no justice", diperlukan upaya bersama untuk membangun kembali nilai-nilai keadilan dan prikemanusiaan. Langkah pertama yang perlu diambil adalah memperkuat sistem hukum. Pemerintah dan penegak hukum harus memastikan bahwa keadilan dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari ada atau tidaknya perhatian publik. Sistem peradilan yang transparan dan akuntabel adalah kunci agar masyarakat kembali percaya pada supremasi hukum.
Selain itu, edukasi digital menjadi aspek penting dalam membentuk masyarakat yang bijak dalam menggunakan media sosial. Edukasi ini harus menanamkan pemahaman tentang bagaimana menyuarakan ketidakadilan tanpa mengeksploitasi korban. Kesadaran ini akan membantu menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan empati yang lebih tulus.
Di sisi lain, solidaritas nyata juga harus diwujudkan dalam tindakan yang lebih konkret. Masyarakat dapat mendukung korban melalui jalur hukum atau memberikan bantuan langsung yang dibutuhkan, bukan sekadar berbagi konten di media sosial. Hal ini mencerminkan kepedulian yang berorientasi pada solusi, bukan sekadar sensasi.
Peran media juga tidak kalah penting. Media harus mampu menyajikan informasi secara berimbang dan menghindari eksploitasi penderitaan manusia untuk keuntungan komersial semata. Dengan demikian, media dapat menjadi mitra dalam menciptakan kesadaran kolektif yang lebih baik.
Harapan untuk Indonesia yang Lebih Berkeadilan
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi teladan dalam menegakkan keadilan dan prikemanusiaan. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika kita bersama-sama menjaga integritas nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi negara ini.
Fenomena "no viral, no justice" adalah cerminan dari tantangan zaman yang harus kita atasi dengan bijaksana. Mari kita wujudkan masyarakat yang lebih adil dan beradab, di mana keadilan tidak bergantung pada seberapa viral sebuah peristiwa, tetapi pada komitmen bersama untuk menegakkan kebenaran dan kemanusiaan. -RAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H