Mohon tunggu...
Rajiman Andrianus Sirait
Rajiman Andrianus Sirait Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis jurnal artikel dan lagu, sebagai editor beberapa buku Teologi dan pendidikan agama Kristen.

Nama saya Rajiman Andrianus Sirait, saya penulis jurnal artikel dan lagu, sebagai editor beberapa buku Teologi dan pendidikan agama Kristen.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ahli yang Merasa Ahli, Kapan Kepakaran Menjadi Ilusi?

22 Oktober 2024   11:21 Diperbarui: 22 Oktober 2024   11:51 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era informasi saat ini, gelar dan status ahli menjadi hal yang sangat dihargai. Namun, di balik kehebatan para pakar, ada fenomena menarik: ahli yang hanya merasa ahli. Fenomena ini tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga memunculkan pertanyaan kritis tentang otoritas, kebenaran, dan keahlian.

Seseorang mungkin memiliki pendidikan dan pengalaman yang cukup untuk dianggap sebagai ahli dalam suatu bidang. Tetapi, bagaimana kita bisa memastikan bahwa kepakaran mereka tidak hanya bersifat superfisial atau didasarkan pada asumsi yang tidak diuji? 

Dalam dunia yang semakin kompleks, banyak orang merasa aman ketika seorang "ahli" memberikan penjelasan. Namun, ada perbedaan signifikan antara mereka yang benar-benar memahami inti masalah dan mereka yang hanya berpegang pada pengetahuan permukaan.

Fenomena ini diperkuat oleh efek Dunning-Kruger, di mana seseorang yang kurang memiliki kompetensi dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan keahliannya. Ironisnya, mereka yang benar-benar ahli seringkali justru meragukan kemampuan mereka, karena mereka menyadari kedalaman pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami suatu masalah secara utuh. 

Ketika ahli yang merasa ahli berbicara dengan penuh keyakinan, mereka seringkali menggiring opini publik ke arah yang salah. Sebagai masyarakat, kita pun terkadang gagal mengajukan pertanyaan kritis atau skeptis, terjebak dalam persepsi bahwa seseorang yang berwibawa selalu benar.

Kritis terhadap "ahli" yang merasa ahli bukan berarti tidak menghargai kepakaran. Justru, hal ini menekankan pentingnya menguji dan mempertanyakan pandangan, bahkan dari mereka yang memiliki kredensial kuat. 

Ini melibatkan keinginan untuk memeriksa apakah seseorang benar-benar memahami konteks dan nuansa suatu masalah atau hanya mengulangi apa yang mereka pelajari tanpa refleksi mendalam. Bahkan ahli harus siap menghadapi kritik dan terus belajar---karena kepakaran sejati adalah proses yang berkembang.

Pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: Bagaimana kita bisa membedakan ahli sejati dari mereka yang hanya sekedar merasa ahli? Salah satu kuncinya adalah keterbukaan terhadap kritik dan kemampuan untuk mengakui ketidakpastian. 

Ahli yang sejati tidak akan selalu memiliki jawaban, tetapi mereka akan mengajukan pertanyaan yang benar dan tetap merespons kritik dengan kerendahan hati, bukan defensif.

Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis bukan hanya penting untuk menghadapi informasi yang datang dari orang awam, tetapi juga dari mereka yang mengaku ahli. Terlalu percaya pada kepakaran tanpa mempertanyakan bisa menjerumuskan kita pada kesalahan kolektif. (RAS)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun