Menulis merupakan cara menyampaikan atau melahirkan gagasan, pikiran ataupun perasaan yang dituangkan melalui tulisan, dengan tujuan supaya mudah dipahami oleh pembaca. Harus diakui kemampuan menulis itu sangat mendukung bagi pembangunan bangsa dan Negara kearah kemajuan disegala bidang, pada umumnya dan terkhusus dalam bidang pendidikan.
Menulis menjadi sangat penting dikarenakan otak kita rata-rata mengingat 10% apa yang kita baca, 20% apa yang kita dengar, 30% apa yang kita lihat, 50% apa yang kita dengar sekaligus lihat, 70% kalau kita bicarakan dengan orang lain, 80% jika kita mengalami, 95 % jika kita mengajarkannya kepada orang lain.Â
Selain hal tersebut, terdapat beberapa alasan lainnya untuk mengetahui bagaimana pentingnya menulis, yaitu; 1) Menulis adalah salah satu modal pokok dalam berkomunikasi, 2) Menulis adalah salah satu langkah menuju keabadian, 3) Menulis berarti menata pikiran, 4) Saat menuliskan suatu tulisan berpotensi tersebar sangat luas, 5) Menulis itu menyehatkan, 6) Menulis dapat meningkatkan daya ingat dalam mendapatkan informasi baru, dan 7) Dapat menuliskan pemahaman akan menambah pengetahuan.
Banyak alasan yang membuat seseorang aktif menulis, bisa hanya karena hobi semata. Bisa juga karena tuntutan pekerjaan. Seperti halnya dalam dunia akademik, terkhusus dalam Perguruan Tinggi (PT) yang di mana setiap tenaga pendidik dan para peserta didik wajib membuat karya ilmiah yang lebih kerennya disebut "Jurnal".
Hal tersebut tidaklah salah, memang seharusnya seorang yang berkecimpung dalam dunia akademisi harus mampu membuat suatu karya ilmiah. Baik itu dari penelitian ataupun pengabdian kepada masyarakat. Menulis karya ilmiah sendiri adalah bagian dari tugas pokok dosen yang masuk ke dalam Tri Dharma.Â
Tri Dharma menjelaskan tiga poin tugas utama dosen yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
Dalam meneliti, dosen tidak hanya melakukan penelitian dan jika sudah ada hasilnya maka selesai. Tidak. Belum selesai. Dalam penelitian dosen juga diwajibkan untuk menulis laporan hasil penelitian dalam bentuk artikel ilmiah.Â
Bahkan dosen dengan mahasiswa sejatinya dapat berkolaborasi sebagaimana  harapan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
 Yang menjadi soal adalah, ketika mahasiswa begitu dituntut untuk menulis, sedangkan dosennya tidak membimbing, dan lebih parahnya lagi numpang nama dalam karya mahasiswa, bahkan menghapus nama mahasiswa untuk kepentingan jabatan fungsional si dosen (Dengan menulis dan mempublikasikan artikel ilmiah akan mendorong penambahan poin angka kredit.Â
Setelah mencapai jumlah tertentu dosen berhak mengajukan diri untuk memangku jabatan fungsional). Apakah hal tersebut dapat dikatakan benar? Â Sekali lagi menulis bukanlah untuk gengsi, tetapi suatu dedikasi.
Seorang akedemisi yang dewasa sejatinya harus memahami potensi dirinya dan akan berupaya menggunakan potensi dirinya itu untuk melakukan kegiatan positif, kreatif, inovatif dan bermanfaat bagi lingkungannya.Â
Orang yang dewasa, apabila disertai dengan kegiatan belajar yang tepat, pikirannya akan berkembang untuk menemukan prinsip-prinsip dalam sesuatu yang dihadapinya.Â
Sedangkan orang yang belum dewasa memiliki pandangan bahwa setiap kenyataan diharapkan dapat menyenangkan dirinya. Kesulitan, kesusahan, kerugian, dan bahaya tidak perlu ada dalam setiap kehidupan. (Mungkin itu yang mendasari!)
Menulis adalah dedikasi, bukannya gengsi untuk dipandang semata atau hanya untuk memenuhi tuntutan semata. Harus diakui, tidak semua orang jago dalam hal menulis. Setiap individu memiliki kelebihannya masing-masing, maka dari itu kolaborasi perlu ada, dengan mengedepankan kejujuran, dan tujuan yang sama, yaitu untuk kepentingan kemajuan pendidikan.Â
Dosen sejatinya harus menjadi role model, menjadi mentor, menjadi partner dengan mahasiswa dalam memajukan pendidikan. Bukan sebaliknya!
Peran dosen menjadi pendamping dan pembimbing mahasiswa merupakan implementasi Kampus merdeka. Kemerdekaan akademik  (yang kolaboratif) sendiri diketahui menjadi prinsip pokok yang dianut oleh pendidikan tinggi di berbagai negara di dunia.Â
Mayoritas negara yang menerapkannya memiliki kualitas pendidikan yang maju. Jika dosen bisa menerapkan kelas kolaboratif dan memperbanyak praktek bersama mahasiswa ketika Kampus Merdeka diimplementasikan. Maka tujuan Kampus Merdeka tersebut akan tercapai.
Dalam banyak teori dan praktik pendidikan, posisi dan peran peserta didik sering tidak mendapat perhatian yang adil dan wajar. Hal tersebut juga, ketika peserta didik telah diberikan sebuah peran atau posisi tertentu, segera saja ia dilupakan begitu saja sebagai manusia.Â
Padahal, penerimaan dan penghargaan peserta didik yang pertama-tama sebagai manusia inilah, yang sesungguhnya akan memberikan dimensi yang lain dan sangat kaya dalam penyelenggaraan pendidikan.Â
Boleh dikatakan, penerimaan dan penghargaan itu nyaris menjadi kunci dari hampir segala permasalahan. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi tenaga pendidik dan masyarakat sejak awal memperlakukan peserta didik ini sebagai sungguh manusia, kendati pun ia masih muda. Baik itu dalam pemahaman fisiologis, psikologis maupun juridis kemasyarakatan.
Pola pikir pendidikan kita sejatinya harus mulai berkembang, tidak malah stagnan. Dosen menjadi penggerak, mahasiswa harus juga mau bergerak, sehingga terjadi peningkatan pengalaman dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.Â
Kolaborasi yang jujur, adil dan berdikasi bukannya sekedar gengsi, sejatinya harus menjadi landasan yang diterapkan, sehingga dapat tersaji kualitas yang terbaik dalam hasil penelitian dan pengabdiaannya, sehingga semua masyarakat dapat menikmatinya. Jadi menulislah karena dedikasi bukannya gengsi. (RAS).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H