Siapa itu buruh ? dalam pasal 1 ayat 3 UU no.13/2003 tentang ketenagakerjaan mendefenisikan buruh adalah "setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain." dari definisi minimal diatas kita sedikit banyak bisa menyimpulkan bahwa sebahagian besar dari kita adalah buruh; anda, saudara anda, dan mungkin kelak saya termasuk dalam kategori sebagai buruh, itu karena sebagian besar dari kita bukanlah pengusaha melainkan pekerja yang digaji secara reguler.Â
Badan pusat statistic (BPS) mencatat, jumlah angkatat kerja (buruh) di Indonesia pada februari 2020 sebanyak 137, 91 juta orang. Artinya, setengah dari populasi masyarakat Indonesia berprofesi sebagai BURUH! Dan fenomena bonus demografi yang kita alami hari ini sudah barang tentu akan turut memberi sumbangsi pada peningkatan kuantitas populasi buruh diindonesia.Â
Dari fakta diatas, maka bukanlah sesuatu yang berlebihan ketika slogan "problem buruh adalah problem kita semua" digaungkan (namun sangat disayangkan masih ada beberapa orang yang belum juga sadar dan masih melihat perjuangan buruh dengan sebelah mata/apatisme).
Oleh karena sebagian dari rakyat Indonesia berprofesi sebagai buruh, maka standar kesejahteraan rakyat Indonesia tak akan bisa lepas dari kesejahteraan Buruh itu sendiri. Sayangnya, apa yang kita anggap penting diatas tak selalu sejalan dengan negara, buktinya, sampai hari ini angka pelanggaran yang dilakukan pengusaha (perusahaan) terhadap hak buruh masih tergolong tinggi, mulai dari pelanggaran pembayaran upah dibawa upah minimum sampai pada penggelapan asuransi BPSJ baik ketenaga kerjaan maupun Kesehatan yang kesemuanya itu termasuk dalam tindak kejahatan (pasal 183-188 UU no.13/2003)
Mengenali tantangan
Terwujudnya Kesetaraan hak buruh dan pengusaha menjadi salah satu alasan penting aksi buruh disuarakan dan Pidana Perburuhan diberlakukan. Namun sangat disayangkan, meski telah terdapat sekitar 46 jenis Pidana Perburuhan yang diatur dalam Undang-Undang (siaran pers/LBH Jakarta/Pidana Perburuhan: 2019), namun pada prakteknya masih jauh dari bayangan ideal kita semua, hanya terdapat beberapa kasus saja dimana pengusaha akhirnya berhasil diPidanakan.
Mengapa demikian? Saya membagi setidaknya terdapat dua kategori alasan yang turut menghambat tegaknya sangsi Pidana Perburuhan diIndonesia;
pertama,adalah faktor eksternal (dari prespektif buruh), berkenaan dengan sistem acara pidana kita yang masih banyak bolongnya, oleh karenanya, para pelapor harus memiliki kualitas kesabaran yang mempuni untuk perhadapan dengan pihak kepolisian yang kurang cakap Hukum, yang dalam beberapa kasus menolak untuk menerima laporan dengan alasan yang bertolak belakang dengan logika Hukum seperti, pihak buruh sebagai pelapor diharuskan terlebih dahulu melaporkan ke pengawas (PPHI) sebagai syarat diterimanya laporan dikepolisian, harus inilah-harus itulah, rupa-rupa warnanya (upaya penghambatan seperti ini tidaklah asing di negara kita sebagai bukti tren KKN yang masih eksis dikalangan penegak hukum kita sampai hari ini), dan biasanya ketika polisi (dengan terpaksa) menerima laporan, laporan sengaja dibiarkan mengendap (terfermentasi menjadi tempe), oleh karenanya, kita sebagai pelapor sekali lagi harus dengan keringatan mengawal laporan kita dikepolisian /dorong biar jalan (POSISI/LBH Jakarta/Pidana Perburuhan: 2020);
Kedua, adalah faktor internal yang menjadi poin penting dalam tulisan ini. Biasanya, ketika laporan pak Aji (seorang buruh) atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan berhasil diterima lalu kemudian diliput media dan akhirnya Viral, perusahan yang sudah panas-dingin dikarenakan takut akan dipenjara biasanya memanggi para pihak terkait (pelapor) untuk kemudian diajak ngopi, disitulah syair-syair rayuan pulau kelapa mulai mereka lantunkan,"bagaimana kalau kita berdamai saja saudara Aji, saudara cabut laporan saudara dan sebagai gantinya kami dari pihak perusahaan akan memberikan sisa gaji yang belum dibayarkan dan selagus akan menaikkan pangkat saudara (biasanya pemimpin Buruh), apa maksud bapak! tandas pak Aji, Baiklah kita berdamai saja, lanjutnya." Akhirnya merekapun hidup Bahagia.
Saya tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun, tapi beginilah realitanya. Pak Aji selaku pelaporpun tidak sepenuhnya bisa kita salahkan atas pilihan win-win solution yang dia ambil. Dia mungkin sudah terlampau sabar menunggu, mulai dari tahap pelaporan dan manik-maniknya, konsultasi, lalu kemudian mengawal perkembangan kasus, dan ketika hari lobi-lobi tiba beliau sudah tidak sanggup lagi untuk bersabar, selain juga karena pengawalan kasus ini telah menyita banyak waktu yang harusnya ia gunakan untuk mencari nafkah.
Masalahnya dimana? Dalam konteks diatas, win-win solution jelas telah berhasil mengembalikan Hak normatif pelapor yang dilanggar (dengan sedikit bonus tentunya) namun, kita harus ingat kembali tujuan fundamental dari perjuang buruh sepanjang abad, yaitu untuk "mencapai kesetaraan hak antara buruh dan pengusaha" dan untuk mencapai cita-cita tersebut, win-win solution bukanlah pilihan yang tepat, karena ketika kita memilih untuk berdamai, maka ketika itu juga adagium yang akrab dikalangan pengusaha bahwa "gerakan buruh itu hanya sepanjang ususnya" menjadi teramini dengan kita sebagai makmum yang turut mengaminkan-nya. Pengusaha akan semakin congkak dan menatap para pekerjanya dengan tatapan kehinaan dan kita akan semakin jauh dari cita-cita kesetaraan yang kita impikan bersama.