"Kebajikan pertama individu adalah kebaikan, sedang Kebajikan pertama institusi adalah keadilan" adalah penggalan kalimat pertama pembuka buku fenomenal Rawls teori keadilan.
Sejak tahun pertama kuliah, saya sudah sering kali mendengar buku ini dijadikan kutipan oleh beberapa senior saya difakultas hukum ketika berdiskusi, dan tatkala kalimat "menurut John rawls dalam bukunya teory of justice" disebutkan, seketika forum seakan terhembus angin dingin membawa keheningan sementara, Seakan tingkat otoritatif sipengutip rawls mendadak berada dipuncak Piramida diskusi waktu itu. Saya yang kala itu masih awam dengan diskusi hukum dan kutipan-kutipan semacam itupun tidak terlalu interest dengan rawls.
Menginjak semester kedua perkuliahan, saya mulai rutin membaca buku-buku sapujagat, yaitu satu buku yang memuat berbagai macam teori, Filsafat Hukum Theo Huijber misalnya, satu buku yang memuat berbagai macam teori filsafat hukum yang disusun dengan susunan historikal mulai dari teori yang paling klasik sampai kontemporer.
Dalam buku itu saya kembali bertemu dengan John rawls pada salah satu babnya, Huijber memasukan Rawls sebagai filsuf realisme Amerika. Saya kemudian membaca kedelapan halaman buku itu yang memuat gagasan-gagasan rawls tentang Filsafat hukum, dan dari bacaan itu saya akhirnya puas dengan sedikit informasi tentang Rawls yang telah saya peroleh dari buku itu.
Selepas membaca buku Huijber, saya kerapkali mendengar dan melihat nama Rawls disebutkan dalam buku-buku etika atau dalam seminar-seminar ilmiah dikampus, dan perlahan nama John rawls mulai akrab ditelinga saya seperti halnya nama-nama filsuf Amerika lainnya. Saya merasa sudah cukup kenal dengan Rawls dan tak ada lagi yang perlu saya cari tahu tentang dia.
Yang Terlewati
Memasuki pertengahan masa perkuliahan, tepatnya semester empat, saya mulai sedikit lebih tertarik dengan beberapa mata kuliah wajib-nya semisal sosiologi hukum dan filsafat hukum dengan satu dosen yang sama, Abah Fahmi sapaan akrabnya oleh mahasiswa dan salah satu dosen favorit saya. Dalam setiap perkuliahannya saya sering kali mendengar nama Rawls ia sebutkan. beberapa kali dalam seminggu, saya juga kerap menyempatkan waktu untuk sekedar bersilaturahmi kerumah beliau sembari berdiskusi perihal Hukum dan lainnya. Sembari melihat-lihat tumpukan buku beliau, mata saya tertuju pada satu buku "teori keadilan oleh John rawls" judulnya. Saya kemudian mengambilnya, membacanya sekilas dan berpikir mungkin dengan banyaknya waktu luang saya hari ini saya bisa menyempatkan waktu untuk membaca buku ini. Sayapun menunjukkan buku ini kepada Abah untuk difoto, ini adalah semacam ritus meminjam buku dari Abah. "Itu buku wajib sarjana hukum"! kata Abah, seingat saya hampir semua buku dipandang sebagai buku wajib sarjana hukum oleh Abah, tapi sudahlah.
Saya luangkan hampir dua bulan waktu saya untuk mengkhatamkan buku ini dan sebenarnya untuk buku dengan tingkat kerumitan dan ketebalan halaman semacam ini maka durasi dua bulan sangatlah kurang, namun dikarenakan deadline yang harus Saya kejar terpaksa saya harus membaca dengan agak sedikit terburu-buru. Singkat cerita bukupun selesai saya baca, dan dari buku itu saya akhirnya sadar bahwa apa yang saya ketahui tentang gagasan Rawls selama ini hanyala merupakan pengetahuan yang dangkal dari dalamnya samudra gagasan Rawls, betapa tidak, hampir sembilan puluh persen yang dimuat dalam buku itu adalah sesuatu yang masih sangat baru buat saya. Tepat pada tanggal 13 November 2020 pukul 02:00 Dinihari WIB bukupun selesai saya baca dan empat hari setelahnya Saya habiskan untuk membuat Bagan sebagai bahan presentasi dirumah Abah.
Setelah mengembalikan buku dan berdiskusi panjang lebar tentang teori keadilan John rawls, Abah sembari membakar kembali sepotong rokok ditangan yang hampir mati lalu menghisap-hembuskan asap rokok beliau berkata "ji, sebenarnya saya telah selesai menerjemahkan buku theory of justice John rawls ini sendiri, namun karena terjemahan yang satunya keburu diterbitkan maka terjemahan saya hanya berakhir ditumpukan buku-buku" ujarnya. Beliau kemudian melanjutkan cerita tentang kepada gagasan-gagasan John rawls dan filsuf-filsuf lainya, bagaimana beliau berusaha sebisa mungkin membeli buku-buku primer dari setiap tokoh yang beliau senangi gagasannya. Beliau kemudian menutup cerita panjangnya dengan beberapa kalimat refleksi (yang sudah seringkali beliau sampaikan) bahwa "bacalah empat buku primer psikologi maka kau akan faham psikologi, dan rumus ini berlaku untuk segala disiplin ilmu yang ingin kau ketahui. "
Pentingnya Bacaan Primer
Dalam membaca Buku-buku Primer tentu memiliki kendala tersendiri, selain karena muatannya yang full of theory buku-buku primer juga oleh milenial hari ini dikesankan sudah terlampau kuno, dan sebelumnya saya termasuk dari mereka yang berpandangan demikian, itu sebabnya saya lebih memilih untuk mengenal gagasan Rawls dari buku-buku sapu jagad seperti buku kumpulan filsuf dan gagasannya. Saya merasa bahwa membaca buku primer semacam theory of justice hanya membuang-buang waktu saya, dan selayaknya milenial "klo ada yg mudah kenapa tidak?" jika saya bisa mengetahui gagasan Rawls dari buku-buku sapujagat kenapa harus theory of justice? Namun, saya pribadi akhirnya sadar akan kedangkalan informasi yang saya peroleh dari buku-buku sapujagat semisal itu dan betapa soknya saya yang berbicara atas nama tokoh seakan saya telah membaca keseluruhan bukunya. Saya tidak mempermasalahkan buku-buku sapujagat semisal itu, karena untuk sekedar tahu buku-buku itu adalah jawabannya, Namun sebagai civitas akademika, pembacaan atas buku-buku primer semacam theory of justice sudah menjadi keharusan (sesuai dengan disiplinny masing-masing), semua demi menunjangi kedalaman analisa kita itu sendiri yang akan berimpek pada tingkat kualitas karya ilmiah kita, dan mungkin mulai saat ini saya akan mencoba (dengan sedikit paksaan tentunya) membaca buku-buku primer semacam itu.Â