Mohon tunggu...
Rajif Duchlun
Rajif Duchlun Mohon Tunggu... -

Lahir dan dibesarkan di Halmahera-Indonesia. Writer! Escribir como lo banyal. Ficción y No Ficción.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bams (Prolog)

12 Agustus 2014   02:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Prolog]

IA TIDAK BEGITU besar. Tubuh kecil dan kurus itu seringkali menyusuri malam dengan sendiri-sendiri. Usia anak kolong langit ini baru saja memasuki lima belas tahun. Sudah lima tahun lalu, Ayah dan ibunya berlabuh di pangkuan surga yang Maha Kuasa.

Bahkan saat menjelang pagi, segelas teh hangat dan bubur panas yang sering dimakan anak-anak se-usianya pun tak ia cicipi. Ia tak punya beras yang banyak untuk dimasak, ia tak miliki gula untuk membuat minuman penghangatnya. Ia adalah tiang bagi dirinya sendiri; mempertahankan hidup dengan seadanya saja.

Panggilan si kecil ini ‘Bams’. Pasar dan terminal mungkin saja sudah bosan melihat Bams mengais-ngais sekian tahun. Pemilik nama asli Ibam Fahri itu bahkan sesering menyulap ruang tunggu terminal seperti kasur-kasur empuk yang biasa dimiliki Om-om berdasi di balik gedung Negara. Bams memang sudah biasa memungut masa depan seperti itu. Ia kuat meski sesekali menjadi selimut pada diri sendiri, menjadi Ayah dan Ibu untuk diri sendiri.

Kemisikinan adalah satu-satunya makhluk yang sedang merajai hidup, Bams. Di tengah gemuruh demokratisasi dan pergolakan politik yang merobohkan akhlak kenegaraan, Bams malah tak ambil pusing soal apa yang sedang terjadi.

Sebab yang ia mengerti, kemiskinan itu kalaupun diteriaki maka teriakan itu akan menjadi teriakan-teriakan kepentingan—kalaupun kemiskinan itu didiskusikan, maka diskusi itu mungkin hanya mengalir di bibir-bibir pemilik kopi elit. Bams percaya demikian, entah karena ia skeptis pada semua manusia atau memang ia pahami bahwa dirinya bak alat politik yang ramai didengungkan di atas pentas-pentas demokrasi.

Seorang Bams adalah mata air Negara—yang juga punya air mata. Ia adalah mata air yang perlu dilestarikan, ia adalah air mata sebab keterjagaannya teramat terancam. Air mata Bams mengalir karena mata air Republik ini tercemar politik. Iya, politik.

Bams sering memungut koran-koran bekas dan menemukan banyak hal tentang politik. Bams mengerti—ia terbuang karena politik. Sebelum Kota kecil ini ia singgahi, pulau indah yang terbentang seperti huruf ‘K’ itu pernah ia nikmati dengan riang. Bams kecil yang manja mungkin hanya catatan pinggir yang menyisahkan kisah di pedalaman pulau yang bernama Halmahera.

Setelah tanah kelahirannya tercebur dalam konflik horizontal, segalanya dengan mudah terbenam bersama mimpi-mimpi hebatnya. Lagi-lagi politik yang menghayutkan manusia dalam teriakan kebencian dan dendam. Konflik yang pecah pada tahun 1999-2000 itulah yang membawa Bams bisa berlabuh di Kota kecil ini.

Kota pemilik sejarah Raja-raja ini sekarang sudah menjadi tempat berteduh hidup untuk sebagian orang yang mencari makan. Bams adalah salah satu dari sekian pencari makan yang belum kenal lelah menyusuri lembah-lembah malam. Ia adalah film yang tak akan pernah ditayangkan dihadapan Bapak-bapak bersepatu kaca itu. […]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun