Mohon tunggu...
Rajif Amar Kahfi
Rajif Amar Kahfi Mohon Tunggu... -

Universal Person

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Lupakan Kodratmu, Kaum Hawa!

13 Juli 2011   16:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin maraknya gerakan emansipasi perempuan di negara-negara demokrasi, terutama negara berkembang, memberikan ruang yang lebih longgar bagi perempuan untuk bekerja di bidang laki-laki, seperti dokter, manajer, bahkan di kerja kasar sekalipun. Tren saat ini, perempuan seringkali berpartisipasi dalam arena politik suatu negara baik itu di parlemen maupun eksekutif. Tulisan ini bukan sebagai larangan bagi kaum hawa untuk berpolitik atau bekerja layaknya kaum pria lakukan, tetapi untuk menghimbau bahwa perempuan masih mempunyai tanggung jawab layaknya kodratnya sebagai perempuan, istri dan ibu rumah tangga.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa peranan gender antara laki-laki dan perempuan adalah kontruksi patriarki sosial. Seperti para feminis utarakan, perbedaan tersebut menyangkut maskulinitas laki-laki (rasionalitas, ambisi dan kekuatan) melawan feminitas perempuan (emosionalitas, kapasitas dan kelemahan). Opini publik yang berlaku kebanyakan menyatakan bahwa laki-laki lebih bijak atas perempuan, atau perempuan hanya mengandalkan perasaan dibandingkan dengan logika. Asumsi-asumsi seperti inilah yang inigin dipatahkan oleh kaum perempuan, bahwa mereka berhak menuntut dan mendapatkan hak dan pekerjaan yang setara dengan laki-laki sebagai warga negara.

Sekiranya bentuk emansipasi ini memang diperlukan. Secara historis, perempuan adalah kaum yang tertindas. Pada perang dunia, perempuan selain sebagai korban perang juga menjadi korban pemerkosaan oleh tentara-tentara. Jangankan untuk bersuara dalam pengambilan kebijakan, untuk membentuk sebuah organisasi saja mereka dikekang. Perempuan dalam istilah ‘orang dulu’ hanya berperan pada 3 tempat (kasur, sumur dan dapur). Mereka diisolasi dari luar, mereka tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah untuk keluarga karena tanggung jawab tersebut sudah diserahkan kepada suami atau laki-laki.

Namun, peranan perempuan pada abad 21 berubah 180 derajat. Dulu mungkin ia seorang ibu rumah tangga, tapi sekarang ia sudah menjadi wanita karir. Dulu mungkin ia tidak bisa ikut campur urusan negara, tapi sekarang ia sudah menjadi pemimpin yang paling berpengaruh terhadap negara, sebut saja wanita ‘tangan besi’ Margaret Thatcher dan pejuang demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi.

Jika kita menganalisa melalui level negara, perempuan dapat menjadi salah satu indikator apakah kondisi negara tersebut sejahtera atau tidak. Semakin banyak perempuan yang aktif dalam organisasi dan parlemen, maka semakin baik pula civil society di negara tersebut. Semakin banyak perempuan yang bekerja, semakin baik pula kondisi keuangan keluarga yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita negara. Perempuan, seperti disebut oleh Hillary Clinton sebagai Agent of Change negara.

Salah ‘Emansipasi’

Ironisnya, perempuan yang sukses berkarir di pekerjaan, belum tentu sukses dalam urusan rumah tangga. Ketika mereka bekerja—dimana dalam profesi tersebut dituntut bekerja keras (kerja pagi, pulang malam)—seringkali pekerjaan rumah tangga terbengkalai. Ketika berbicara prioritas hidup, mungkin jawaban perempuan sekarang adalah karir, bukan kebahagiaan mendapatkan keturunan (anak). Di kondisi ekstrimnya, seorang anak yang orang sebut sebagai ‘titipan Tuhan’ dianggap sebuah bencana. Tidak dipungkiri memang bahwa perawatan anak memerlukan perhatian yang lebih dari orang tua, terutama ibu yang melahirkannya. Mengurus anak dan mengurus pekerjaan secara bersamaan adalah hal yang sulit dan merepotkan. Dan pada akhirnya, kebanyakan ibu memilih untuk mempekerjakan pembantu atau baby sitter dalam mengurusi pekerjaan rumah dan anaknya.

Gambaran tadi menjelaskan bagaimana perempuan merasa memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya. Kebebasan yang diperjuangkan oleh ibu R.A. Kartini sejak lama. Keinginan untuk merubah nasib perempuan yang tertindas sehingga tuntutan emansipasi telah terwujud. Tetapi pertanyaannya, benarkah emansipasi tersebut? Sudahkah emansipasi tersalurkan? Adakah sisi emansipasi yang perempuan lupakan? Kebanyakan perempuan salah mengartikan emansipasi ini.

Emansipasi adalah sebuah kebebasan untuk memilih. Dalam hal ini, perempuan diberikan kebebasan dalam kehidupan sosial juga mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Pengertian ini benar, tetapi kebanyakan mereka menganggap bahwa emansipasi ini adalah sebuah usaha perempuan untuk melawan dominasi laki-laki. Emansipasi terkadang menjadi alat untuk memposisikan perempuan diatas laki-laki.

Yang ditekankan disini berkisar mengenai permasalahan di keluarga. Ketika perempuan telah bisa menghasilkan penghasilan sendiri tanpa nafkah dari suami, apalagi bila penghasilan tersebut lebih besar. Maka terjadi pergeseran peran, perempuan merasa bertanggung jawab terhadap pendapatan keluarga dan mereka cenderung bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga ia lupakan dan anak ditelantarkan. Sehingga, Pertumbuhan dan pendidikan anak tidak didampingi dan disuapi oleh ibu kandungnya sendiri. Akibatnya, seorang anak tumbuh dari didikan pembantu. Tidak heran kita sering melihat anak-anak yang keluarganya tergolong mengengah ke atas tidak memiliki pendidikan moral yang baik. Mungkin apabila R.A. Kartini masih hidup dan melihat fenomena emansipasi perempuan sekarang, ia akan kembali berjuang untuk merubah kesalahan emansipasi ini.

Untuk itu, perlu digarisbawahi bahwa emansipasi perempuan bukan percobaan untuk mengalahkan laki-laki, tetapi menyetarakannya. Status perempuan sebagai pekerja bukan berarti menjadi kepala keluarga dan melupakan anak-anaknya, tetapi bersama-sama membentuk dan membangun keluarga yang sejahtera. Sehingga pada akhirnya urusan nafkah dan anak menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Disini sebenarnya makna keadilan dan kesetaraan gender lebih substantif. Peranan perempuan dan laki-laki harus dimulai dari keluarga. Emansipasi perempuan memang harus dilakukan, tetapi jangan sampai perempuan melupakan kodratnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun