Mohon tunggu...
Rajesta Trimayza Ar Rasyid
Rajesta Trimayza Ar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa yang memiliki hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Riba pada Pencatatan Transaksi Keuangan

13 Oktober 2024   11:01 Diperbarui: 13 Oktober 2024   11:16 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Praktik akuntansi modern mencakup berbagai aspek ekonomi, termasuk pencatatan transaksi keuangan yang melibatkan bunga atau riba. Dalam Islam, riba diharamkan karena dianggap merugikan masyarakat dan menimbulkan ketidakadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah riba boleh dicatat dalam sistem akuntansi, terutama dalam aspek ekonomi yang terkadang memerlukan laporan transaksi keuangan yang berhubungan dengan bunga. Artikel ini akan mengulas pandangan Islam tentang pencatatan riba dalam akuntansi serta solusi alternatif yang dapat diterapkan dalam praktik akuntansi syariah.

Konsep Riba dalam Islam

Riba merujuk pada segala bentuk tambahan yang dikenakan pada pokok pinjaman, baik dalam bentuk uang maupun barang. Terdapat dua jenis riba utama dalam Islam, yaitu:

1. Riba Nasiah : tambahan yang dikenakan karena keterlambatan pembayaran atau penundaan pelunasan.

2. Riba Fadl : tambahan yang timbul dari pertukaran barang yang sejenis dalam jumlah yang berbeda.

Kedua jenis riba ini dilarang dalam Islam, karena dianggap menyalahi prinsip keadilan dan dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi serta ketidakadilan sosial. Larangan ini didasarkan pada berbagai ayat Al-Quran, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 275, yang menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Pencatatan Riba dalam Sistem Akuntansi

Dalam praktik akuntansi, pencatatan bunga atau riba sering kali tak terhindarkan, terutama dalam konteks perusahaan yang beroperasi di sistem ekonomi konvensional. Namun, terdapat perdebatan apakah pencatatan ini berarti turut melegitimasi praktik riba. Beberapa pandangan terkait pencatatan riba dalam akuntansi dalam Islam adalah sebagai berikut:

1. Pandangan Konvensional : Sistem akuntansi konvensional tidak memisahkan antara pendapatan yang berasal dari riba dan yang tidak. Pencatatan riba dianggap sebagai bagian dari praktik bisnis yang lazim dan dilaporkan sebagai bagian dari pendapatan atau biaya.

2. Pandangan Syariah : Dalam perspektif akuntansi syariah, riba tetap dicatat namun dengan penjelasan khusus sebagai pendapatan atau beban non-halal. Sistem ini memungkinkan pengguna laporan untuk memahami bahwa pendapatan atau beban tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah.

3. Solusi Syariah : Akuntansi syariah merekomendasikan pencatatan terpisah dan pemberian label khusus pada transaksi yang melibatkan bunga atau riba. Hal ini dilakukan untuk memberikan transparansi dan mendorong pemilik usaha atau investor untuk mengurangi ketergantungan terhadap pendapatan riba. Dengan kata lain, akuntansi syariah menekankan pada pencatatan yang jelas sehingga laporan keuangan bisa tetap mematuhi prinsip syariah.

Alternatif untuk Menghindari Riba dalam Akuntansi

Dalam Islam, solusi terbaik untuk menghindari riba adalah dengan tidak terlibat dalam transaksi yang mengandung riba sejak awal. Namun, dalam kondisi tertentu, terutama bagi perusahaan yang beroperasi di negara dengan sistem keuangan konvensional, menghindari riba sepenuhnya mungkin sulit dilakukan. Beberapa alternatif untuk menghindari pencatatan riba dalam akuntansi adalah:

1. Menggunakan Skema Keuangan Syariah : Misalnya, perusahaan dapat beralih ke pembiayaan berbasis syariah seperti murabahah, mudharabah, atau musyarakah, yang tidak melibatkan bunga. Skema ini lebih selaras dengan prinsip Islam dan dapat meminimalkan ketergantungan pada riba.

2. Pencatatan Riba sebagai Pendapatan atau Beban Non-Halal : Dalam situasi tertentu, jika perusahaan masih memperoleh pendapatan berbasis bunga, akuntansi syariah mendorong agar pendapatan tersebut dicatat sebagai pendapatan non-halal dan dianjurkan untuk dialokasikan untuk amal atau dihilangkan dari catatan laba bersih.

3. Pengelolaan Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah : Ini mencakup penggunaan sistem akuntansi syariah yang membedakan antara transaksi halal dan non-halal. Dengan demikian, riba dapat dicatat dengan jelas sebagai beban atau pendapatan yang terpisah dan dihindari secara bertahap.

Dalam Islam, riba secara tegas dilarang karena dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat. Meskipun demikian, pencatatan riba dalam akuntansi dapat dilakukan dengan beberapa syarat, yaitu dengan memberikan label yang jelas bahwa transaksi tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah. Akuntansi syariah memungkinkan pencatatan riba sebagai beban atau pendapatan non-halal sehingga pemakai laporan dapat memahami pengaruhnya terhadap hasil usaha.

Praktik terbaik bagi perusahaan yang ingin menerapkan prinsip syariah adalah dengan mengurangi ketergantungan pada riba dan beralih ke skema pembiayaan berbasis syariah. Pendekatan ini bukan hanya mendukung prinsip Islam tetapi juga berpotensi menciptakan stabilitas dan keadilan dalam sistem ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun