Mohon tunggu...
Rajendra Kimi
Rajendra Kimi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dampak Persyaratan Kerja yang Tinggi terhadap Tingkat Pengangguran

28 Oktober 2024   06:28 Diperbarui: 28 Oktober 2024   07:45 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia, sebagai negara dengan populasi yang besar dan ekonomi yang sedang berkembang, telah mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam berbagai sektor industri, seperti manufaktur, teknologi, dan jasa. Namun, di tengah dinamika pasar kerja yang menjanjikan ini, ada isu penting yang sering diabaikan: standar kualifikasi yang ditetapkan bagi calon karyawan sering kali terlalu tinggi.

Departemen Sumber Daya Manusia (HRD) di berbagai perusahaan sering menerapkan kriteria yang ketat dalam proses rekrutmen. Standar kualifikasi ini biasanya meliputi:

  1. Gelar Akademik Tinggi: Banyak perusahaan menuntut agar calon karyawan memiliki gelar dari universitas terkemuka. Keinginan ini mencerminkan harapan untuk merekrut individu dengan pendidikan yang dianggap lebih baik, meskipun hal ini tidak selalu menjamin bahwa mereka memiliki kompetensi praktis yang diperlukan di lingkungan kerja.

  2. Pengalaman Kerja yang Panjang: Persyaratan untuk memiliki pengalaman kerja selama bertahun-tahun sering kali menjadi hambatan bagi lulusan baru atau individu yang berusaha beralih ke karier baru. Kriteria ini dapat menciptakan kesan bahwa hanya mereka yang memiliki pengalaman luas yang mampu memberikan kontribusi, sehingga banyak potensi bakat baru mungkin terlewatkan.

  3. Sertifikasi Khusus: Di beberapa bidang, seperti teknologi informasi dan keuangan, perusahaan sering mencari kandidat yang memiliki sertifikasi tertentu. Meskipun sertifikasi dapat berfungsi sebagai indikator keterampilan spesifik, penekanan yang berlebihan pada aspek ini dapat mengabaikan individu yang memiliki pengalaman praktis meskipun tidak memiliki sertifikasi formal.

Menetapkan standar kualifikasi yang tinggi tampaknya merupakan langkah yang rasional untuk memastikan bahwa perusahaan mendapatkan karyawan berkualitas. Namun, pendekatan ini memiliki sejumlah implikasi yang perlu diperhatikan secara lebih mendalam.

1. Penyempitan Basis Kandidat

Ketika perusahaan menetapkan harapan bagi calon karyawan untuk memiliki gelar dari universitas terkemuka atau pengalaman kerja bertahun-tahun, hal ini secara tidak langsung mengurangi jumlah individu yang memenuhi syarat. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami kesulitan dalam mencari kandidat yang tepat untuk mengisi posisi yang tersedia. Banyak individu yang memiliki bakat dan potensi mungkin tidak dapat bersaing karena tidak memenuhi semua persyaratan formal, meskipun mereka memiliki keterampilan praktis dan pengalaman yang relevan.

2. Ketimpangan Kesempatan Kerja

Standar kualifikasi yang tinggi sering menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap pekerjaan, terutama bagi individu yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah atau yang tinggal di daerah terpencil. Akses terhadap pendidikan tinggi dan pelatihan sering kali terbatas, sehingga banyak orang yang memiliki kemampuan praktis dan etika kerja yang baik terpinggirkan. Akibatnya, perusahaan berpotensi kehilangan kesempatan untuk merekrut karyawan yang dapat memberikan kontribusi signifikan, meskipun mereka tidak memenuhi kualifikasi formal yang dianggap "ideal".

3. Mengabaikan Keterampilan Non-Formal

Fokus yang berlebihan pada kualifikasi akademis dan pengalaman kerja dapat mengabaikan faktor-faktor penting lainnya, seperti keterampilan interpersonal, kreativitas, dan kemauan untuk belajar. Karyawan yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan beradaptasi, dan semangat untuk terus belajar sering kali menjadi aset yang lebih berharga daripada sekadar gelar akademik atau pengalaman kerja yang panjang. Dalam banyak kasus, perusahaan yang mengutamakan kualitas non-formal ini dapat menciptakan tim yang lebih dinamis dan inovatif.

4. Krisis Talenta

Di beberapa industri, seperti teknologi dan digital, terdapat kekurangan talenta yang terampil. Dengan menerapkan kriteria yang terlalu ketat, perusahaan berisiko memperburuk masalah ini. Banyak perusahaan mungkin mengalami kesulitan dalam menemukan kandidat yang memenuhi semua syarat, yang dapat menghambat pertumbuhan dan inovasi. Oleh karena itu, menerapkan kriteria yang lebih fleksibel dan inklusif dapat membantu perusahaan mengisi kekosongan yang ada dan mendiversifikasi tim mereka.

Oleh karena itu, sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan evaluasi terhadap kriteria yang ditetapkan dalam proses rekrutmen. Dengan memberikan kesempatan kepada kandidat yang memiliki potensi, meskipun tidak memenuhi semua kualifikasi formal, perusahaan dapat memperluas basis kandidat dan meningkatkan keragaman dalam tim. Pendekatan yang lebih inklusif tidak hanya membantu perusahaan dalam menemukan bakat yang tepat, tetapi juga berkontribusi pada penciptaan lingkungan kerja yang lebih produktif dan inovatif. Menyesuaikan standar kualifikasi dengan kebutuhan aktual dari posisi yang tersedia serta mengakui nilai pengalaman praktis dapat menjadi langkah strategis yang vital untuk pertumbuhan dan keberhasilan organisasi dalam pasar yang semakin kompetitif.

Selain yang disebutkan diatas, adapula beberapa berdampak pada penyerapan tenaga kerja atas standar kualifikasi yang tinggi tersebut, terutama terhadap tingkat pengangguran:

  • Peningkatan angka pengangguran: Salah satu konsekuensi dari penerapan standar kualifikasi yang tinggi adalah peningkatan angka pengangguran di kalangan pencari kerja. Banyak individu yang berupaya memasuki pasar kerja menghadapi kesulitan dalam mendapatkan posisi yang diinginkan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan. Berdasarkan data yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2024 tercatat sebesar 4,82%. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang mencapai 5,45% pada Februari 2023, tantangan yang dihadapi oleh banyak pencari kerja, terutama para lulusan perguruan tinggi, tetap signifikan. Situasi ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara kualifikasi yang dimiliki oleh pencari kerja dan kriteria yang ditetapkan oleh perusahaan.
  • Perpanjangan masa mencari kerja: Proses pencarian kerja menjadi semakin menantang bagi calon karyawan yang hanya memenuhi sebagian besar persyaratan, tetapi tidak semua. Individu dalam posisi ini sering kali harus menghabiskan waktu yang lebih lama untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Keterlambatan ini dapat menimbulkan frustrasi, rasa putus asa, dan ketidakpuasan, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan mental dan motivasi pencari kerja. Waktu yang terbuang dalam pencarian pekerjaan ini juga dapat menyebabkan individu merasa tidak dihargai, sehingga mengurangi kepercayaan diri mereka dalam menghadapi peluang kerja yang ada.
  • Ketidakpuasan kerja: Banyak individu yang akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan dengan persyaratan yang sangat tinggi, meskipun pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan minat, keahlian, atau aspirasi karier mereka. Ketidakcocokan ini sering kali berujung pada perasaan tidak puas yang mendalam terhadap pekerjaan yang mereka jalani. Ketidakpuasan ini dapat berdampak negatif pada produktivitas, karena karyawan yang tidak termotivasi cenderung tidak memberikan performa terbaik. Selain itu, ketidakpuasan yang berkepanjangan sering kali menyebabkan tingkat turnover yang tinggi, di mana karyawan memilih untuk meninggalkan pekerjaan mereka dalam waktu singkat. Hal ini bukan hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam jangka panjang, seperti biaya rekrutmen yang lebih tinggi dan penurunan morale di dalam tim.

Untuk mengurangi dampak negatif dari persyaratan kerja yang tinggi terhadap tingkat pengangguran, ada beberapa langkah dapat diambil untuk mengatasi permasalahan diatas:

  1. Pembaruan Kurikulum Pendidikan: Institusi pendidikan perlu melakukan pembaruan pada kurikulum mereka agar lebih selaras dengan kebutuhan pasar kerja saat ini. Pembaruan ini harus mencakup pengintegrasian keterampilan praktis dan teknologi terkini yang relevan dengan berbagai industri. Dengan cara ini, lulusan akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia kerja dan dapat bersaing secara lebih efektif. Kurikulum yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan industri tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa lulusan memiliki kompetensi yang diperlukan oleh pemberi kerja.

  2. Program Magang dan Pelatihan Kerja: Meningkatkan akses ke program magang dan pelatihan kerja merupakan langkah penting untuk memberikan pengalaman praktis kepada mahasiswa sebelum mereka lulus. Program-program ini memungkinkan mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan teoretis yang telah mereka peroleh di bangku kuliah dalam konteks dunia nyata. Selain itu, pengalaman ini membantu mahasiswa dalam membangun jaringan profesional yang berharga, yang dapat mendukung mereka dalam pencarian pekerjaan di masa depan. Dengan terlibat langsung dalam lingkungan kerja, mahasiswa juga dapat mengembangkan keterampilan interpersonal dan memahami dinamika profesional yang mungkin tidak diajarkan di dalam kelas.

  3. Dukungan Karir di Kampus: Memperkuat layanan pengembangan karir di universitas sangat krusial dalam mempersiapkan mahasiswa untuk memasuki dunia kerja. Layanan ini dapat mencakup berbagai bentuk bimbingan karir, seperti penyuluhan tentang penulisan curriculum vitae (CV), pelatihan keterampilan wawancara, serta penyediaan informasi mengenai peluang kerja yang relevan. Dengan adanya dukungan ini, mahasiswa dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang industri yang mereka minati dan mengembangkan strategi yang efektif dalam pencarian kerja. Layanan pengembangan karir yang komprehensif dapat membantu mahasiswa untuk lebih percaya diri dan terinformasi ketika memasuki pasar kerja.

  4. Insentif bagi Perusahaan: Memberikan insentif kepada perusahaan yang bersedia merekrut lulusan baru tanpa pengalaman kerja dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Insentif ini dapat berupa pengurangan pajak atau dukungan finansial untuk program pelatihan internal yang dirancang untuk membantu karyawan baru beradaptasi dengan lingkungan kerja. Dengan cara ini, perusahaan didorong untuk memberikan kesempatan kepada calon karyawan yang memiliki potensi, meskipun mereka belum memiliki pengalaman kerja yang luas. Selain itu, strategi ini juga dapat mempercepat integrasi lulusan baru ke dalam dunia kerja dan membantu mereka mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk sukses di posisi mereka.

Dengan penerapan langkah-langkah yang telah disebutkan, diharapkan terjadi pengurangan tingkat pengangguran serta peningkatan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Kunci untuk menciptakan tenaga kerja yang siap pakai terletak pada penyelarasan antara pendidikan dan kebutuhan industri. Peningkatan akses terhadap pengalaman praktis dan dukungan karir juga akan memfasilitasi adaptasi dan kesuksesan calon karyawan dalam lingkungan kerja yang kompetitif.

Lebih lanjut, kolaborasi yang efektif antara institusi pendidikan, sektor industri, dan pemerintah akan memungkinkan terciptanya ekosistem yang mendukung pengembangan bakat. Sinergi ini diharapkan dapat meminimalkan tingkat pengangguran di masa depan, sekaligus memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan dan kompetensi yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan pasar kerja yang terus berkembang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun