Mohon tunggu...
david yohanes
david yohanes Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang yang tertarik pada tulisan mengenai apa saja. terutama sosial, bola, dan seni

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Wartawan Bodrek vs Kapal Keruk

22 Januari 2016   00:55 Diperbarui: 22 Januari 2016   15:03 2615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Jika kita menyebut kata bodrek, bagi orang awam akan terbayang sebuah merek obat sakit kepala. Namun, dalam dunia jurnalistik, bodrek adalah sebuah kata dengan konotasi negatif. Secara umum brodrek bisa dimaknai wartawan abal-abal. Wartawan yang tidak punya media (cetak, online, tv). Namun dalam perkembangannya, bodrek juga mempunyai makna yang lebih luas. Misalnya, wartawan yang punya media, namun medianya abal-abal.

Medianya hanya cetak jika diperlukan. Misalnya ada berita yang potensi menghasilkan uang, maka korannya akan diterbitkan. Jika tidak ada potensi pendapatan, korannya mati suri. Bodrek model ini biasanya sangat kasar. Target mereka memeras seseorang dengan tulisannya. Jangan berpikir cover both side atau jusnalistik lainnya, semua berupa asumsi dan “fiksi”. Biasanya mereka memainkan tudingan selingkuh dan korupsi. Utamanya kepada pejabat dan para pengusaha. Mereka juga jeli dengan menghindari orang-orang yang paham hukum.

Penampilan mereka juga sangat mencolok. Biasanya mengenakan pakaian mirip-mirip militer atau polisi. Atau setidaknya intelejen. Dalam pergaulan, para bodrek ini tidak bisa berkumpul dengan wartawan media mainstream. Wartawan media mainstream jijik dengan mereka. Sementara para bodrek seolah kepanasan di dekat wartawan media mainstrem.

Mereka sering dijuluki “bodrekers”. Aksi mereka mencapai puncak saat menjelang Idul Fitri. Berbondong-bondong mendatangi instansi dan meminta THR.

Namun bodrek bisa juga wartawan dari media mainstream. Dia punya media yang diakui dewan pers, namun perilakunya sama dengan para bodrekers.

Gebuk Rangkul dan Kapal Keruk

Dulu media cetak, hidup dari oplah (penjualan koran). Kemudian dari iklan yang menjadi sumber terbesar penghasilannya. Idealnya, media massa menerima iklan dari pihak swasta. Itu pun bukan swasta yang sedang mempunyai masalah hukum. Hal ini berkaitan dengan kodrat awal media massa sebagai tiang demokrasi ke-4, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa menjadi wakil publik menjadi kontrol untuk ketiga lembaga tersebut.

Namun di kabupaten yang bukan pusat industri, sangat sulit menjaring iklan dari pihak swasta. Media di daerah kemudian mengakali dengan menjaring iklan dari instansi-instansi pemerintahan. Mereka menawarkan kolom-kolom untuk diisi berita advetorial. Berita advetorial menjadi sumber pendapatan utama. Di sini media telah mengkhianati fungsi sebagai kontrol. Mereka sudah bergandengan mesra dengan penyelenggara pemerintahan.

Celakanya, perilaku media daerah sudah kelewat batas. Demi menggenjot pendapatan, mereka berperilaku seperti bodrekers. Berita yang mereka tampilkan didesain untuk menyerang instansi tertentu. Tulisannya selalu berisi intimidasi, dengan target narasumber menghentikan berita. Tidak heran, hari ini berita yang ditayangkan begitu galak menyerang. Tapi besoknya terbit berita yang bertolak 180 derajat, balik menyanjung setinggi langit. Cara inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “gebuk rangkul”. Hari ini menggebuki, besoknya dirangkul. Untuk merangkul inilah, pihak yang diserang harus mengeluarkan sejumlah uang kompensasi.

Model penghentian berita tidak melulu dengan gebuk rangkul. Kadang pihak yang jadi target harus mengeluarkan uang tunai dan langsung masuk kantong. Tidak ada kompensasi berita advetorial untuk uang yang dibayarkan. Biasanya perilaku ini berlaku pada kasus-kasus aib yang terungkap ke publik. Sebagai contoh, di Kabupaten T, polisi mengungkap keberadaan sebuah casino beromset miliaran rupiah. Casino tersebut dikelola seorang pengusaha tempat hiburan malam.

Saat semua media mengangkat kejadian ini, media terbesar di kabupaten tersebut justru alpa. Usut punya usut, ada aliran dana cash dari pemilik casino ke ruang redaksi. Lebih parah lagi, saat media lain mengawal kasus hukumnya, media tersebut malah membuat profil anak pemilik casino.

Perilaku buruk tersebut kemudian mendapat cemooh dari para bodrekers. Mereka balik melabeli wartawan dari media mainstream tersebut dengan panggilan “kapal keruk”. Kapal keruk merupakan gambaran perilaku yang rakus. “Mereka mengirim wartawan, menulis seperti biasa. Tapi di belakang mereka ada tim iklan yang selalu menawarkan penghentian berita. Yang kelihatan di depan memang wartawan. Tapi di belakangnya ada kapal keruk yang bergerak,” demikian ungkapan seorang bodrekers yang masih saya ingat.

Media Watch

Ternyata ada pandangan “silau” masyarakat terhadap media mainstream. Mereka terpesona dengan nama besar media tersebut. Tidak ada upaya untuk mengkritisi perilaku media tersebut. Padahal media berpotensi menjadi diktator di suatu daerah. Hitam-putih suatu daerah dikendalikan berita di media tersebut. Karena itu, masyarakat juga harus mengontrol perilaku media.

Publik harus berjejaring dan membuat “Media Watc”. Media sosial membuka peluang untuk melakukan kontrol pada media massa. Media sosial adalah bentuk dari jurnalisme warga. Memang, beberapa waktu lalu media sosial kita telah dirusak oleh perilaku buruk kelompok tertentu. Mereka menyebar fitnah dan menyerang memproklamirkan kebencian. Namun masih banyak yang menggunakan media sosial dengan jujur dan bertanggung jawab.

Posting setiap perilaku negatif media massa. Sebarkan ke jaringan masing-masing. Lakukan kritik, ungkapkan berita-berita yang dicurigai ditukar dengan uang. Jika semua masyarakat peduli, maka akan terjadi seleksi alam. Media nakal pelan-pelan ditinggalkan pembaca. Karena kapal keruk lebih berbahaya daripada bodrek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun