"Tambang pasir dengan mesin penyedot di sungai Brantas Tulungagung"
Jawa Timur sungguh teberkahi dengan keberadaan Sungai Brantas. Sungai sepanjang 350 kilometer ini mengular dari wilayah Kota Batu hingga ke Kota Surabaya. Sepanjang alirannya Brantas menghidupi ribuan hektar sawah.
Bahkan Brantas telah menjadi aset vital secara nasional. Betapa tidak, wilayah yang dilaluinya telah menjadi lumbung padi. Terganggunya Brantas, berarti terganggu pula salah satu lumbung padi nasional.
Selain itu Brantas juga mempunyak potensi tambang pasir bangunan. Pasir berwarna hitam ini berasal dari letusan Gunung Kelud. Setiap kali meletus, Kelud mengirim berkahnya melalui Brantas.
Sudah puluhan tahun warga di sepanjang aliran Brantas menambang pasir ini. Bahkan mereka sudah menggantungkan kehidupannya pada tambang pasir. Dulu penambangan dilakukan secara manual.
Penambang menyelam ke aliran Brantas yang cukup tenang. Dengan serok mereka menaikan pasir-pasir tersebut ke atas sampan kecil. Setelah terkumpul sekitar satu truk, barulah pasir dijual.
Namun penambangan tradisional seperti itu kini sulit ditemui di sepanjang aliran Sungai Brantas. Awal tahun 2000 penambang tradisional mulai beralih menggunakan mesin. Memanfaatkan mesin penyedot bertenaga diesel, mereka mulai melakukan eksplorasi secara besar-besaran.
Keuntungan menggunakan mesin penyedot, kerja jadi semakin cepat. Selain itu pasir yang dihasilkan juga semakin bagus. Pasir yang disedot langsung dialirkan pada alat pengayak.
Sehingga antara pasir, kerikil dan batu langsung terpisah. Mengoperasikan mesin penyedot lebih efisein karena hanya membutuhkan sedikit tenaga. Putaran uang dari usaha sedot pasir ini memang luar biasa.
Di Ngunut, Tulunggagung misalnya, satu titik pengerukan saja setiap hari ada 30 hingga 35 truk pasir diangkut dari lokasi. Satu truk biasanya berisi empat hingga lima meter kubik pasir. Harga pasir di pembeli lokal dipatok harga Rp 140.000 per truk.
Harga masih ditambah upah kuli pengangkut, Rp 40.000 per orang. Padahal untuk mengangkut pasir dalam truk, sedikitnya dibutuhan lima orang manol, sebutan kuli angkut pasir. Sehingga harga satu truk pasir bisa membengkak menjadi Rp 340.000.
Harga ini berubah untuk pembeli dari luar kota, yang kebanyakan dari Kabupaten Ponorogo. Satu truk biasanya menjadi Rp 240.000 dengan biaya manol Rp 60.000 per orang. Pendapatan terbesar tentu saja untuk pemilik mesin.
Mereka biasanya terdiri dari beberapa orang yang patungan merakit mesin penyedot. Pemilik mesin tidak pernah di lokasi penyedotan. Proses penyedotan diawasi orang kepercayaannya.
Seorang kuli operator saja bisa mendapat Rp 300.000 per hari. Jauh lebih besar jika mereka bekerja sebagai kuli bangunan. Akibatnya jumlah penambang dengan mesin penyedot, atau yang biasa disebut tambang mekanik, semakin menjamur.
Akibatnya sungguh luar biasa. Aliran Brantas bertambah dalam hingga delapan meter. Alirannya pun semakin deras.
Dampak yang langsung dirasakan, banyak pondasi jembatan yang terkikis. Mesin penyedot juga menghancurkan tanggul Brantas. Aliran Brantas juga semakin melebar mendekati rumah warga.Â
Bahkan di Desa/Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, sebuah rumah nyaris jatuh ke aliran Brantas. Dampak buruk tambang pasir mekanik ini disikapi Gubernur Jawa Timur dengan menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub).
Pergub Nomor 1 Tahun 2005 tentang Usaha Penambangan Galian C di bantaran Sungai Brantas, melarang penggunaakn mesin penyedot. Sejak saat itu aparat terkait, mulai dari Perum Jasa Tirta, Satpol PP hingga polisi mulai melakukan razia.
Sayangnya setiap kali razia hanya menangkap operator. Sementara pemilik mesin penyedot kerap lolos. Operator tersebut hanya dikenai wajib lapor.
Sering pula razia hanya mendapat mesin penyedot. Operator yang ketakutan, kabur dengan menyeberangi aliran Brantas. Aparat kemudian membakar peralatan yang ditinggalkan.
Sayang beribu sayang, razia tambang pasir mekanik tidak dilakukan setiap hari. Alasannya klasik, mulai dari dana operasional, hingga saling lempar tanggung jawab. Akibatnya tambang mekanik dengan mudah kita temukan di wilayah Kecamatan Rejotangan, Ngunut, hingga Sumbergempol yang masuk wilayah Kabupaten Tulungagung.
Bahkan truk-truk yang mengangkut pasir hasil tambang mekanik leluasa lewat di depan Polsek Ngunut. Padahal jika ada kemauan kuat dari pemangku kepentingan, tambang pasir mekanik sangat mudah digulung.
Satu rangkaian mesin penyedot biasanya terdiri dari dua buah mesin diesel. Mesin-mesin ini dilengkapi rakit agar bisa mengapung di atas Sungai Brantas. Operator butuh satu jam lebih untuk merangkai mesin ini hingga siap dijalankan.
Demikian juga untuk membongkar, butuh waktu sekitar satu jam hingga setiap bagian bisa diangkut. Satu set mesin ini bisa menghasbiskan dana Rp 20 juta. Aparat bisa membuat bangkrut para penambang dengan sangat mudah.
Caranya kirim saja intel untuk mengintai aktivitas tambang. Suara mesin penyedot kedengaran hingga radius 500 meter. Sehingga mudah mengetahui dimana ada penyedor pasir beroperasi.
Jika sudah diketahui titiknya, razia bisa dilakukan. Orangnya mungkin lolos, tapi mesinnya pasti dapat. Tinggal bakar semua peralatan yang mereka gunakan.
Andai mesin yang mereka gunakan terlalu berat untuk diangkut, rusak dan tenggelamkan. Jika itu dilakukan setiap hari, dipastikan pemilik mesin penyedot akan miskin. Mereka akan berpikir dua kali jika akan mengoperasikan mesin penyedot lagi.Â
Pilihannya satu, yaitu kembali menambang dengan cara tradisional. Membakar mesin-mesin penambang memang terkesan kejam. Namun cara itu yang bisa menyelamatkan Brantas dari kerusakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H