Oleh: Turah Untung
Melihat gebrakan Bupati Tegal Ki Enthus Susmono, cukup menarik untuk dicermati, bukan hanya diranah kebijakan publik ia besut. Namun ada yang menarik ketika ia mengangkat simbol Lupit - Slenteng sebagai mascot Kabupaten Tegal.
Seorang ahli menyimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah di observasi, tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit untuk dipahami , (Richard L. Daft, 1999). Mendefinisikan kepemimpinan merupakan suatu masalah yang kompleks dan sulit, karena sifat dasarnya sangat kompleks. Barangkali sama sulitnya ketika kita menerawang perilaku kepemimpinan Enthus Susmono, sebagai Bupati Tegal.
Karir Enthus sebagai dalang memang cukup gilang gemilang. Reputasinya didengar oleh kalangan Internasional. Lewat lakon wayang golek ciptaannya: Lupit dan Slenteng, Enthus berhasil mendobrak dan keluar dari pakem pewayangan Surakartanan, maupun Yogyakartanan yang terkesan kalem.
Nampaknya melalui tokoh Lupit - Slenteng, Enthus ingin mereduksi ketokohan lupit –slenteng yang kerap tampil tidak tedheng aling-aling dalam bertutur, sehingga menganggapnya liar dan kasar. Sikap bertutur liar dan kasar, Enthus melalui Lupit – Slenteng inilah yang justru kemudian dikatakan oleh Prof. Abu Su’ud sebagai prototype wong Tegal.
Belajar dari Lupit - Slenteng
Tokoh Lupit-Slenteng memiliki perwatakan apa adanya dan selalu menjalani hidup penuh keikhlasan ini diharapkan menjadi filosofi warga Kabupaten Tegal. Tokoh Lupit-Slenteng memang selalu memberi celotehan-celotehan menarik, ringan dan renyah, tetap tanpa melupakan makna yang tersirat dalam celotehannya. Apabila kita melihat wujud dari golek lupit-slenteng, kita mungkin tidak menduga jika tokoh tersebut ternyata memberikan peran yang sangat sentral, walaupun Lupit-Slenteng ini bukan tokoh utama dalam pertunjukan wayang golek ala Ki Enthus.
Kehadirannya menjadi warna pertunjukan Wayang golek Tegal. Suara Lupit - Slenteng adalah suara rakyat. Dalam dunia pedalangan, ada carangan yang hampir sama yaitu dengan tokoh Gareng-Petruk, juga representasikan ketokohan kawula. Lakon yang menarik adalah ketika Petruk Dadi Ratu. Ketika terjadi gonjang-ganjing sudah sampai pada taraf sangat tidak wajar, para kawula (Punakawan) mulai membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan Jonggring Saloko (Istana Para Penguasa), mengobrak-abrik dan merekonstruksi tatanan yang selama ini dipakai para penguasa, serta para elite yang melakukan manipulasi. Petruk turun tangan merebut “kekuasaan”.
Yang perlu disikapi dalam lakon Petruk Dadi Ratu, atau dalam carangan Tegal Lupit dadi ratu. Euforia seperti ini tengah dirasakan pula orang rakyat Indonesia ketika Jokowi-JK memenangi Pilpres 2014. Simbolisme kemenangan rakyat dalam merebut singgasana R1 melalui sosok Jokowi.
Patron Petruk dadi Ratu selama ini menjadi impian wong cilik yang banyak didera permasalahan. Melalui sosok Petruk atau Lupit yang mengajawantah sebagai pemimpin riil ini menjungkirbalikan tatanan. Petruk atau Lupit dalam awal-awal berkuasa merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya.
Ratu adil yang menjadi impian, tersirat dari sepak terjang Lupit sebagai pribadi yang sadar peranannya, setelah semua baik, semua berjalan normal, maka Petruk atau Lupit ini kembali kepada peranan awalnya menjadi seorang pengabdi.
Dalam hal ini, Enthus sejak awal telah menjadi Lupit - Slenteng sebagai media kritik terhadap penguasa. Kini ketika Lupit-Slenteng ini ngejawantah sebagai penguasa, akankah ia menjadi lupa atau malah banyak yang dikerjakan karena sebetulnya sebagai sosok “kawula” ia mengerti betul atas apa yang dibutuhkan rakyat. Lupit dadi ratu memang menjadi sihir tersendiri, bagi publik. Jika tidak diimbangi dengan kerja dan karya besar sinar itu akan redup. Namun nampaknya Enthus paham betul menjaga sinar itu, tak menunggu seratus hari dari waktu berkuasa, beberapa gebrakan telah dilakukan. Gebrakan-gebrakan terus dilakukan, jurus dan sabetan terus dilakukan.
Kedua, ketika Lupit (baca: Enthus) berhasil menjadi Ratu, Bupati untuk rakyat Kabupaten Tegal, ia harus tetap tak menjaga jarak dengan rakyat. Enthus pernah mengatakan bahwa ia bosan mengkritik dari luar. Kini ia telah di dalam, sebagai Bupati Tegal. Tugasnya tidak ringan, seperti Lupit, ia tetap harus (jika perlu) merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya. Persoalan birokrasi, lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat Kabupaten Tegal menantinya.
Enthus tentu tidak akan memposisikan rakyatnya sebagai wayang. Wayang adalah benda mati yang bisa dengan mudah digerakkan, sedangkan manusia itu hidup, mempunyai akal dan pikiran yang berbeda-beda. Menjadi bupatinya manusia, tentu berbeda dengan menjadi dalang dalam menggerakkan wayang.
"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun. Sementara rakyat akan terus ada. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H