“…bolehlah saya katakan bahwa kambing lebih cocok jadi pemimpin dengan kawalan 1000 banteng, 1000 gajah, 1000 orang utan, 1000 kancil dan 1000 merpati…”
Kelu rasanya lidah ini menjawab pertanyaan seorang kawan tentang calon presiden yang paling layak pada pilpres 2014 ini. Antara ikhlas dan tidak ikhlas, saya jawab, “Ah, nanti lihat gambarannya di bilik suara saja”. Kawan itu tak puas karena, katanya, jawaban saya seperti jawaban pegawai negeri penyuluh pertanian. Huhf…
Saya menjawab demikian karena merasa diri pasti akan subjektif. Semangat, gaya bicara dan janji-janji Prabowo gue banget…! Sedangkan Jokowi? Gaya bicaranya tidak greget. Kelemah-lembutannya lebih menggambarkan seorang penjual alat peraga pelajaran sekolah daripada sebagai calon presiden.
Saya merasa diri subjektif karena sesungguhnya tidak mengenal Prabowo, sedangkan Jokowi kenal! Saya berusaha mengenal Prabowo, misalnya melalui kutipan dari Merdeka.com, “Kita saat di militer dipimpin dengan keras. Komandan kita cerewetnya tidak main-main. Mereka singa anak buahnya pun menjadi singa. Tapi kalau singa dipimpin kambing, nanti singanya bersuara kambing," ujar Prabowo di Hotel Bidakara, Kamis (27/3/2014).
Meski Prabowo tak menyebut siapa orang yang diibaratkannya sebagai kambing, tetapi saya menangkap sinyal kuat “rasa” singa dan kambing. Betapa perkasanya singa sedang kambing yang terlihat dungu itu hanya bisa mengembik, “Mbheeeeikk…mbheeeeik…mbheeeeik…!”
Suara kambing membawa saya pada kenangan saat “mengenal” Jokowi saat bersama-sama di Fakultas Kehutanan UGM dulu. Jokowi itu jelek, terlihat lugu, kurus, pendiam, sederhana, tak menonjolkan diri, tetapi saya melihatnya sangat idealis, serius (saat itu sebagai asisten praktikum struktur dan sifat kayu), percaya diri, tidak mau curang, sangat fokus pada tujuan dan tak mau menyusahkan sesiapapun.
Lho, apa kaitannya dengan kambing?. Begini. Saya akan bandingkan dulu antara kambing (K) dan singa (S).... K makan rumput, S makan kambing. K bisa jadi hewan qurban, S suka makan korban. K jarang menyusahkan hewan lain, S sering menyusahkan. K mengembik mencari kawan, S diam-diam menerkam mangsa. K makan rumput secukupnya, S membunuh mangsa sesukanya. K menemani anak kekasihnya merumput, S makan anak kekasihnya lalu mengawini induknya. Kotoran K jadi pupuk, kotoran S susah dicari.
Dengan demikian, menjadikan singa menjadi pemimpin sama dengan mengorbankan satu per satu rakyatnya menjadi santapan sang pemimpin! Jadi, meski sering dikisahkan sebagai raja hutan, tetapi sifat-sifat singa tak baik untuk pemimpin. Bahkan untuk jadi tentarapun saya lebih condong memilih banteng, gajah, orang utan, kancil dan merpati. Karenanya, ijinkan saya mengatakan bahwa kambing lebih cocok jadi pemimpin, dengan kawalan 1000 banteng, 1000 gajah, 1000 orang utan, 1000 kancil dan 1000 merpati.
****
Karena begitu rindu akan jaminan keamanan (termasuk ketenangan dan kebebasan beribadah) dalam negeri, saya selalu berharap agar polisi Indonesia hebat, berani, tegas dalam menegakkan keadilan, bagi masyarakat mayoritas dan minoritas. Itulah sebabnya saya sangat kagum pada Bapak Prabowo, apalagi pada saat memberi sambutan pada rapat pimpinan nasional Keluarga Besar Putra Putri Polri di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (2/6/2014), "Saya ingin polisi Indonesia begitu hebat, muncul saja dia segan orang melihatnya, tidak berani macam-macam. Kita anjurkan markas besar polisi, kalau milih polisi harus yang ganteng-ganteng dan yang cantik-cantik" (Tempo.co).
Tetapi kemudian setelah berpikir agak lama, tiba-tiba saya merasa dilecehkan karena seolah-olah hal kegantengan dan kecantikan menjadi penentu… Malang nian nasibmu hey orang tak ganteng dan tak cantik! Ini diskriminatif buat saya yang kebetulan tak ganteng ini.Harusnya manusia dinilai dari kemanfaatannya bagi manusia lain dan bagi dunia. Menilai manusia dari segi fisik saja sungguh kurang beradab, jiwa kerdil, tak menghargai kehidupan. Hidup singa, hidup kambing…!
****
Jauh di sana, terbayang kambing gunung menjelajahi setiap sudut bukit bebatuan terjal untuk memetakan lokasi berumput dan gersang, ala blusukan. Kambing itu sangat hapal situasi medan. Untuk melanjutkan hidupnya, kambing itu tahu persis di mana ada rerumputan segar dimana kesengsaraan...
Penjelajahan kambing gunung ke setiap sudut bukit berbatu agak mirip dengan blusukan yang sering dilakukan Jokowi. Bila dilakukan tanpa pemberitahuan lebih dahulu pada pihak yang dikunjungi pasti akan mendapatkan sesuatu yang asli tanpa rekayasa. Cara ini sangat ampuh untuk dapat mengenal medan dengan baik. Pengalaman saya mengunjungi posisi kerja terjauh dan pekerjaan tersulit di lapangan tanpa lebih dahulu memberitahu pihak yang akan dikunjungi membuat perjalanan tanpa ”prosesi penjemputan”. Sangat kental terasa bahwa orang-orang yang dikunjungi merasa sama dengan kita, merasa dihargai dan merasa dicintai.
Satu lagi, Saya suka blusukan ala kambing gunung, ala Jokowi! Blusukan akan lebih bermanfaat bila dilakukan untuk mencari data, kebenaran di lapangan dan sesuatu yang penting dilakukan. Jadi blusukan harus ditindaklanjuti, harus ada keputusan! Blusukan tanpa tindak lanjut atau keputusan adalah kunjungan perkawanan, berjalan-jalan, wisata atau mata-mata...!
Jadi kalau mau lebih baik, pilihlah pemimpin yang tidak berbuat seolah-olah mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadanya... juga harus menjaga rakyatnya dari serangan makhluk yang berkeliling seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (Pet 5, 3-4). Pemimpin yang baik adalah seperti gembala yang memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya, sehingga setiap orang merasa dipedulikan dan dikasihi.
Siapapun presidennya, aku tetap rapopo…
Begitulah jawaban saya yang sesungguhnya. Salam Langit Biru cerah…
****
Pwk, 01/06/2014
Raja Pantun L Gaol
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H