Mohon tunggu...
Raja Miring
Raja Miring Mohon Tunggu... lainnya -

meskipun miring insya Allah tegak berdirinya,lurus jalannya hehe..

Selanjutnya

Tutup

Politik

SARA Itu Indah, Kok Jengah?

16 Agustus 2012   07:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kenapa sih, ribut-ribut SARA rame banget menjelang Pilkada Jakarta?”

“Ya iyalah, masak iya dunk. SARA itu kan isyu politik yang sexy. Lebih sexy dibanding Sarah Azhari hehe.. Ngga sulit kok buat memahami kenapa Isyu SARA akan terus mengemuka. Sebab SARA menjadi bagian dari realitas sosial-politik di negeri ini.”

“Masa hari gini masih ngomongin SARA?”

“Hari yang akan datang juga SARA akan tetap hidup. Sebab SARA itu nyata. Ia mencerminkan keragaman, kemajemukan, pluralitas. Kenapa harus jengah? Kenapa SARA dianggap tabu dalam politik? Apanya yang salah? Bukankah SARA yang mencerminkan keragaman itu sebenarnya sesuatu yang indah? Masak SARA jadi kayak dosa yang ngga boleh dijamah hehe..”

“Iya, kenyataan. Tapi kan ngga perlu diungkapkan dalam berpolitik, karena akan merusak rasa kebersamaan!”

“Yang merusak kebersamaan itu sebenarnya perbedaan kepentingan politik yang diperjuangkan dengan cara yang tak bermartabat, seperti mendiskreditkan, menghina, melecehkan pihak lain yang kepentingannya berbeda.

SARA yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, Antargolongan, telah menjadi bagian dari warna-warni masyarakat negeri ini. SARA menunjuk identitas primordial dalam bingkai pluralitas. SARA itu keniscayaan dalam kebhinekaan yang membentuk ke-Indonesia-an. Ungkapan SARA yang tak diikuti penghinaan dan pelecehan pihak lain ngga akan merusak rasa kebersamaan. Kalo pake bahasa yang lebih tinggi, yang merusak kebersamaan itu politisi korup hehe.. ”

“Ngga bisa, SARA tetap saja bisa menyulut konflik.”

“Ya bisa saja, kalau ungkapan SARA bernada permusuhan dengan menghina atau melecehkan pihak lain. Itu bisa menyulut terjadinya konflik sosial beraroma SARA. Namun konflik dalam politik itu sifatnya situasional. Selama kepentingannya sama ya bersekutu, setelah kepentingannya beda ya berseteru. Biasa aja kok.”

“Saya tetap berpendapat, isyu SARA ngga boleh digunakan”.

“Itu pendapat yang sah. Sama sahnya dengan pendapat boleh menggunakan isyu SARA. Yang berpendapat tak boleh menggunakan isyu SARA ya jangan menggunakannya. Yang berpendapat boleh, silakan menggunakannya. Gampang kan? Malah lucu jadinya kalau yang berpendapat tak boleh menggunakan isyu SARA malah menggunakan isyu SARA untuk menghantam pihak lain.”

“Maksudnya?”

“Ya, contohnya pendukung Jokowi yang tak menginginkan isyu SARA menyerang pendukung Foke yang menginginkan isyu SARA. Meskipun sebenarnya, kalau mau ditelisik lebih dalam, kedua pendukung sama-sama menggunakan isyu SARA dalam kampanye mencari dukungan. Pendukung Foke cenderung menggunakannya secara terbuka dan terang-terangan, pendukung Jokowi menggunakannya secara tertutup dan sembunyi-sembunyi membisikkan SARA.”

“Pusing gue. Politik bikin mumet.”

“Biar ngga pusing, ya udah, kalo ada pendukung Foke ngasih amplop, kantongin aja. Ambil juga kalau pendukung Jokowi yang ngasih. Urusan siapa yang dicoblos urusan belakangan. Mau tidur pas waktu nyoblos juga ngga apa-apa kok hehe..”

“Tetep aja SARA bikin kacau.”

“Yang kacau tuh kalo kita-kita nanti ngga ada yang ngamplopin haha... Ente nih gimane. Lumrah, wajar, dan manusiawi aja kalau orang punya ikatan emosional dengan basis primordialnya seperti suku dan agama. Setiap penganut agama malah harus meyakini kebenaran agamanya. Lalu mengajak rekannya untuk memilih pemimpin yang seiman. Yang ngga boleh tuh, mengolok-olok dan melecehkan agama pihak lain.

Kenapa dalam politik, SARA itu harus menjadi tabu? Kenapa dalam politik, SARA seringkali terperangkap dalam pemaknaan sebagai ‘sesuatu yang jangan diusik?’ Seolah-olahSARA itu sesuatu yang keliru? Boleh saja kalau ada yang tetap ingin melestarikan warisan Orde Baru yang mentabukan SARA dalam politik, tapi sama bolehnya kalau ada yang ingin menggunakan SARA dalam politik. Rambu-rambunya jelas, tidak mengolok-olok, tidak menghina, tidak melecehkan pihak lain.”

“Tapi kan penggunaan simbol-simbol SARA bisa merusak nasionalisme.”

“Ente kebanyakan pake tapi hehe..Kalo itu ukurannya, tentu otonomi daerah yang kini dipraktikkan lebih merusak. Sebab aroma SARA sangat kental dalam semangat otonomi daerah. Terus di tingkat politik nasional, aroma SARA juga tercium dari waktu ke waktu menjelang pilpres. Ungkapan Jawa dan luar Jawa serta sipil dan militer selalu menjadi wacana yang tak pernah basi. Emang ada juga wacana untuk tak mendikotomikan Jawa-luar Jawa, sipil – militer, tapi wacana seperti itu nggak bisa mengubur SARA, sebab SARA akan terus menjadi bagian dari realitas modal politik. Ente ngga percaya? Mau percaya juga boleh kok hehe..”

(raja miring)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun