Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Blogger Ketinggalan Kereta

24 November 2024   13:34 Diperbarui: 24 November 2024   17:39 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu malam minggu, ketika sebagian orang merayakan malam tersebut dengan nonton film di bioskop, aku hanya terpaku depan laptop mengerjakan beberapa laporan yang harus sudah dikirim pada Senin esok.

Di tengah derasnya hujan yang membuat Bandung tak lagi estetik, fokusku terdistraksi oleh pesan panjang di sebuah grup WhatsApp. Aku pun membuka, membacanya, dan mencernanya secara perlahan.

Aku penasaran dengan isi pesan tersebut. Kiranya riuh ramai apakah yang sedang terjadi?

Hasratku untuk memberikan reaksi, aku tahan. Kukembalikan fokusku pada laporan yang sedang kukerjakan. Tapi entah kenapa, jari jemari seperti bergerak sendiri membuka aplikasi Facebook.

Aku kembali mencari dan membuka status seorang teman yang sebelumnya sempat kukasih emoji. 

"Aiiihhh,,, mungkin status ini ada hubungannya dengan keriuhan di pesan WhatsApp", gumamku dalam hati.

Sebuah pertanyaan tentang "dipilih" dan "tidak dipilih" menjadi penuh dalam kepalaku. Mengapa kita memilih menggugat takdir ketika berada pada posisi yang "tidak dipilih"?

Seketika aku teringat pada peristiwa beberapa tahun silam.

Aku dihubungi oleh salah seorang tim promo sebuah film. Aku diminta datang ke acara premiere filmnya. Ia menjanjikan beberapa benefit jika aku bersedia datang. Tentunya juga disertai dengan beberapa kewajiban yang harus aku tunaikan.

Aku menyetujuinya. Namun, dua jam sebelum acara digelar, ia membatalkan perjanjian tersebut. Ya sudah. Aku tidak jadi pergi.

Semula aku berpikir, ia memang batal menggunakan jasa blogger untuk promo filmnya. Tapi circle blogger terkadang sesempit itu.

Ia tidak memilihku, tapi ia memilih yang lain yang aku duga pengikutnya lebih banyak. Padahal di konten-kontennya sama sekali belum pernah membahas film.

"Mengapa dia lebih layak dari aku?", sebagai manusia biasa sempat terbersit pikiran seperti itu.

Tapi setelahnya aku tersadar. Mungkin ini hanyalah persoalan rejeki semata. 

Apa-apa yang sudah ditakdirkan untukku, pastinya tidak akan lepas. Begitupun sebaliknya, jika apa-apa yang tidak ditakdirkan, akan mudah lepas, meski hampir mencapai titik dekat untuk meraihnya.

Tapi ini bukan tentang kisahku di masa lalu. Aku kembalikan cerita, pada keriuhan yang masih ramai diperbincangkan hingga detik ini. Tentang mereka yang "tidak dipilih", tentang mereka yang tidak bisa menikmati asyiknya berkaraoke dalam gerbong akuarium.

Sebuah gerbong kaca transparan yang orang-orang bilang "panoramic", yang hanya mampu menampung 50 orang saja. Tapi peminatnya mencapai 400 orang. Artinya, hanya 12,5% saja yang beruntung bisa mencicipi enaknya nasi jamblang.

Aku tidak berada di pihak yang "dipilih" atau pun yang "tidak dipilih". Karena sedari awal, aku memilih untuk tidak ikut berkompetisi.

Tapi aku sama sekali tidak pernah menyangka. Sebuah poster yang berisi 50 nama yang aku lihat seminggu yang lalu, bisa berujung pada keributan. Yang akhirnya melebar pada pihak-pihak lain yang mungkin tidak tahu persoalan ini sebelumnya.

Terkadang, satu pertanyaan menggelayut di hati. Apakah dengan tidak dipilihnya kita, kita menjadi seseorang yang kalah, atau katakanlah medioker, dan tidak lebih istimewa dibanding yang dipilih?

Aku kira ini hanya soal kuantitas saja. Hanya soal gerbong yang tidak bisa menampung semua keinginan. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, seleksi itu pasti ada dan terjadi. 

Ada yang berhasil masuk gerbong, dan sebagian lagi harus ada yang ikhlas ketinggalan kereta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun