Ia tidak memilihku, tapi ia memilih yang lain yang aku duga pengikutnya lebih banyak. Padahal di konten-kontennya sama sekali belum pernah membahas film.
"Mengapa dia lebih layak dari aku?", sebagai manusia biasa sempat terbersit pikiran seperti itu.
Tapi setelahnya aku tersadar. Mungkin ini hanyalah persoalan rejeki semata.Â
Apa-apa yang sudah ditakdirkan untukku, pastinya tidak akan lepas. Begitupun sebaliknya, jika apa-apa yang tidak ditakdirkan, akan mudah lepas, meski hampir mencapai titik dekat untuk meraihnya.
Tapi ini bukan tentang kisahku di masa lalu. Aku kembalikan cerita, pada keriuhan yang masih ramai diperbincangkan hingga detik ini. Tentang mereka yang "tidak dipilih", tentang mereka yang tidak bisa menikmati asyiknya berkaraoke dalam gerbong akuarium.
Sebuah gerbong kaca transparan yang orang-orang bilang "panoramic", yang hanya mampu menampung 50 orang saja. Tapi peminatnya mencapai 400 orang. Artinya, hanya 12,5% saja yang beruntung bisa mencicipi enaknya nasi jamblang.
Aku tidak berada di pihak yang "dipilih" atau pun yang "tidak dipilih". Karena sedari awal, aku memilih untuk tidak ikut berkompetisi.
Tapi aku sama sekali tidak pernah menyangka. Sebuah poster yang berisi 50 nama yang aku lihat seminggu yang lalu, bisa berujung pada keributan. Yang akhirnya melebar pada pihak-pihak lain yang mungkin tidak tahu persoalan ini sebelumnya.
Terkadang, satu pertanyaan menggelayut di hati. Apakah dengan tidak dipilihnya kita, kita menjadi seseorang yang kalah, atau katakanlah medioker, dan tidak lebih istimewa dibanding yang dipilih?
Aku kira ini hanya soal kuantitas saja. Hanya soal gerbong yang tidak bisa menampung semua keinginan. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, seleksi itu pasti ada dan terjadi.Â
Ada yang berhasil masuk gerbong, dan sebagian lagi harus ada yang ikhlas ketinggalan kereta.Â